Minggu, 28 Oktober 2012

SOSOK GAYATRI DALAM SEJARAH Oleh: Deny Yudo Wahyudi



SOSOK GAYATRI DALAM SEJARAH[1]
Oleh: Deny Yudo Wahyudi[2]

Sebagai pendahuluan perlu saya sampaikan penghargaan tinggi kepada Prof. Drake atas kesediaan dan minat beliau mempelajari sejarah serta kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak banyak orang Indonesia sendiri yang peduli terhadap sejarah bangsanya, namun perhatian lebih justru diperlihatkan oleh seorang Canada yang pernah bertugas cukup lama di Indonesia. Semoga buku ini bermanfaat dalam menambah khasanah berpikir kita terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Pergulatan menarik ditunjukkan Prof. Drake ketika akan memilih tema tulisan sejarah sebagai kebiasaan beliau ketika bertugas di luar negeri. Pilihan terhadap sosok Gayatri sebagai bahan tulisan patut diacungi ibu jari karena beliau tidak tergoda untuk mengangkat nama-nama besar dalam sejarah Majapahit, semisal Prabu Wijaya, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada ataupun kalau tokoh wanita, Tribhuana dan Suhita lebih banyak perannya dalam sejarah kerajaan. Selanjutnya saya akan sedikit berdiskusi dengan tulisan Prof. Drake melalui tulisan sederhana, karena jika melakuklan kontra tulisan memerlukan waktu panjang untuk mempersiapkan suatu proses metode sejarah yang baik.

Gayatri sebuah biografi yang samar
Alasan saya mengangkat sub judul ini karena sosok tokoh Gayatri ini dikenal namun tidak banyak sumber sejarah yang mencatat nama maupun aktifitasnya. Gayatri dikenal sebagai salah satu putri Kertanegara raja Singhasari terakhir. Tidak banyak sumber yang menceritakan tentang biografinya ketika menjadi putri Singhasari[3]. Silsilah raja Singhasari dan Majapahit yang ternaung dalam pohon dinasti Girindra-rajasa wangsa dapat diperoleh penuturan Nagarakrtagama dan Prasasti Mula-Malurung (1255 M). Penemuan prasasti Mula-Malurung semakin memperjelas silsilah raja-raja Singhasari sebagai pendahulu raja-raja Majapahit. Sumber lain selama ini hanya Pararaton dan Nagarakrtagama. Informasi yang diberikan oleh Mula-Malurung banyak yang memperkuat atau bahkan memperjelas kisah dalam Pararaton, karena tidak semua hal kisah dalam Pararton tergambarkan dengan jelas dan justru beberapa menimbulkan pertanyaan.
Silsilah raja-raja Singhasari menunjukkan bahwa semua cabang dalam keluarga ini pernah memerintah[4] dalam tahta Singhasari. Hal yang menarik bahwa politik perkawinan  selain sebagai upaya konsolidasi dan meredam suksesi juga dapat berakibat berlawanan, yaitu penuntutan hak atas tahta. Sebagai contoh adalah tokoh Jayakatwang raja bawahan di Kadiri, ia adalah keturunan dari raja-raja Kadiri dari ayahnya yaitu Sastrajaya, dari pihak ibunya dia adalah keturunan Singhasari, karena saudara perempuan Wisnuwardhana, jadi masih sepupu dengan Kretanagara. Selain itu ia adalah ipar sekaligus besan Kretanegara karena istrinya adalah saudara Kretanegara dan anaknya adalah menantu Kretanegara.
Sekarang yang menjadi pertanyaan siapakah calon yang dipersiapkan oleh Kretanegara sebagai penggantinya. Baik Pararaton, Nagarakretagama maupun Prasasti Mula-malurung tidak memperlihatkan hal tersebut. Jika Kretanegara tidak memiliki seorang putra mahkota maka putri-putrinyalah yang mewarisi tahta. Mungkin saja Wijaya yang keponakan Kretanegara dan mewarisi tahta dari jalur ayah dan kakeknya dianggap pantas menerima hak waris tersebut. Jika benar R- Wijaya awalnya hanya menikahi 2 putri Singhasari kemungkinan besar adalah si sulung Tribhuaneswari (yang mungkin mewarisi tahta) dan Gayatri (yang mungkin sudah diperistri dahulu jika mengingat ia yang diangkat sebagai Rajatpatni). Tetapi ini perlu penelaahan lebih lanjut.

Gayatri seorang Rajapatni
Gelar Rajapatni disematkan kepada Gayatri sungguh sebuah tanda tanya besar, seberapa penting kedudukannya dalam istana Majapahit. Rajatpani adalah gelar yang berarti istri utama raja, sekarang apa bedanya dengan prameswari yang disandang oleh Tribhuaneswari. Prameswari adalah kedudukan utama sebagai penghormatan istri utama yang tertua (usia) sedangkan Rajapatni justru mungkin sebagai bupati estri[5] yaitu pemimpin para wanita utama di istana Majapahit, dan mungkin juga adalah istri kesayangan raja, jika mengingat kemungkinan ia adalah istri awal raja.
Tahta atas Majapahit jatuh pada tangan Jayanegara putra Wijaya dengan Tribhuneswari (hal ini diperkuat oleh prasasti Sukamerta dan Balawi), karena Jayanegara tidak mempunyai anak maka tahta jatuh pada adik tirinya, yaitu Tribhuwanadewi putri Gayatri. Ada pendapat yang menyatakan bahwa gayatri yang memperoleh hak atas tahta karena ungkapan mangkamangalya atau memerintah atas namanya ketika Tribhuwanadewi naik tahta. Pendapat tersebut menerangkan bahwa Gayatri sebagai istri utama raja pendahulu berhak atas tahta namun karena sudah menjadi bhiksuni Buddhis maka menyerahkan tahtanya pada sang putri, sehingga ia memerintah atas nama ibunya. Setelah sang ibu wafat maka Tribhuwana menyerahkan tahta pada anaknya sang Hayam Wuruk pada tahun 1350. Boechari menentang pendapat tersebut karena tidak lazim tahta diberikan pada istrinya, biasanya jika seorang raja mangkat tanpa pengganti maka adiknyanyalah yang akan meneruskan tahtanya[6].


Gayatri dan masa akhirnya
Kehidupan dan peranan Gayatri dalam masa akhir hidupnya tidak banyak diberitakan baik oleh prasasti maupun naskah. Mungkin saja peranan beliau sangat besar seperti yang dicoba gambarkan Prof. Drake. Yang jelas ketika ia hidup, suaminya adalah raja Majapahit dan ia adalah rajatni, istri utama. Dari rahimnya lahir dua putri, Tribhuwanadewi yang menjadi raja dan adiknya Rajadewi Maharajasa menurunkan raja-raja Majapahit dan mungkin orang-orang terkemuka nusantara hingga sekarang. Tribhuwana dan adiknya serta cucu-cucunya, seperti Hayam Wuruk, Rajaduhitecwari (adik Hayam Wuruk), Paduka Sori (istri Hayam Wuruk, putri Rajadewi) serta adiknya Rajaduhintendudewi berada dalam asuhannya, mungkin juga Gajahmada muda[7], sebagaimana halnya yang coba direkonstruksi oleh Prof. Drake dalam buku Gayatri.
Setelah meninggal diberitakan bahwa Gayatri dibuatkan arca Prajnaparamita di Prajnaparamitapuri dan didharmakan di Bhayalangu. Apakah Prajnaparamitapuri sama dengan Bhayalangu perlu pemikiran lebih lanjut[8], karena kita perlu cermat membaca “mwan taiki ri bhayalangÓ§ ngwanira san sri rajapatnin dinarma” Kata mwan taiki yang diartikan kemudian lagi sekarang apakah tidak menunjukkan bahwa selain Prajnaparamitapuri ada juga Bhayalangu sebagai tempat pendharmaan gayatri setelah beliau mangkat dan dilakukan upacara sraddha sebagai peringatan kematiannya. Mengenai arca Prajnaparamita, Munandar (2003) mengasumsikan dengan bagus bahwa arca Prajnaparamita yang berasal dari kompleks Candi Singosari justru pas jika diidentikkan dengan sosok Gayatri. Sedangkan Sidomulyo meragukan dan hampir pasti menolak menyamakan sudharma haji Bhayalango dengan Candi Bhayalango di Tulungagung karena berdasarkan letak kedudukan Bhayalango dalam rute perjalanan Hayam Wuruk yang dikisahkan pada Nagarakretagama justru harus dicari di antara Bangil dan Pasuruan.

Penulisan Sejarah Majapahit
Sebagai penutup maka mungkin buku ini pas jika diletakkan sebagai novel sejarah, karena untuk menjadi rujukan ilmiah perlu kajian-kajian sumber sejarah yang lebih kuat dan detail. Namun usaha Prof. Drake mengangkat biografi gayatri patut kita berikan apresiasi sebagai usaha keras beliau mengenai sosok besar yang agak terlupakan namun berjasa pada kebesaran Majapahit sebuah kerajaan besar[9].
Kedudukan utama dalam penulisan sejarah (kuno utamanya) menempatkan informasi dari prasasti sebagai sumber data primer, baru kemudian naskah dan sumber-sumber lain semacam novel sejarah seperti buku ini. Sumber data tertulis mengenai Majapahit sangat berlimpah baik prasasti, kronik atau berita asing, catatan perjalanan, naskah baik sejaman maupun tidak serta sumber data folklore. Perlakuan terhadap jenis-jenis sumber data ini sangat berbeda sesuai dengan tahapan verivikasi dalam metode sejarah.
Mudah-mudahan tulisan Prof. Drake ini mengisi beberapa kekosongan sumber sejarah mengenai Majapahit, dan menginspirasi banyak orang khususnya Indonesia untuk peduli dan menambah khasanah tersebut. Sukses untuk Prof. Drake.





[1] Judul ini sebagai pembahasan terhadap buku Prof. Earl Drake, Gayatri Rajapatni: Perempuan di balik kejayaan Majapahit dalam acara Diskusi publik yang diselenggarakan oleh BEM FIS UM pada tanggal 2 April 2012. Drake, E. (2012) “Gayatri Rajapatni: Perempuan di balik Kejayaan Majapahit”. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[2] Penyaji adalah staf pengajar di Jurusan Sejarah FIS UM. Mendalami arkeologi sejarah di UI.
[3] Putri Kertanegara yang dikenal menjadi istri dari penguasa pertama Majapahit ada 4 orang, yaitu Sri Parameswari Tribuaneswari, Sri Mahadewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Gayatri. Ada perbedaan menarik mengenai istri Wijaya. Pararaton dan Kidung mengisahkan hanya 2 putri saja yang menjadi istrinya sedangkan Prasasti Sukamrta (1296 M), Prasasti Balawi (1305 M), dan Nagarakretagama menyebutkan 4 istri Wijaya adalah putri Kertanegara Djafar, H. (2009) “Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya”. Jakarta: Komunitas Bambu., Soemadio, B. Ed. (1993) “Jaman Kuno (awal M-1500 M), Sejarah Nasional Indonesia II”. Jakarta: balai Pustaka., dan Munoz, P.M. (2009) “Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan indonesia dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Prasejarah-Abad XVI).” Yogyakarta: Mitra Abadi. Tentang istri Ardharaja yang kemungkinan juga diperistri oleh Wijaya bisa saja terjadi mengingat kebiasaan memboyong tawanan perang, dan mungkin ia adalah salah satu dari keempat putri tersebut (Soemadio 2009).
[4] Ada 3 pohon yang pernah memerintah, yaitu pohon Ken Dedes-Tunggul Ametung diwakili oleh Anusapati, Wisnuwardhana, dan Kretanegara. Pohon Ken Dedes-Ken Angrok diwakili oleh Nararrya Mahisa Wonga Teleng, Nararrya Ghuning Bhaya, dan Nararrya Waning-Hyun. Sedangkan dari cabang silsilah Ken Angrok-Ken Umang naik tahtalah Nararrya Tohjaya Sidomulyo, H. (2007) “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca.” Jakarta: Penerbit WWS.
[5] Model bupati estri ini masih nampak pada keraton-keraton di Jawa hingga sekarang, jabatan ini menempatkan yang bersangkutan semacam patih yang mengurus semua urusan dalam istana. Kedudukannya sangat terhormat, kuat dan menentukan.
[6] Istilah mangkamangalya ini juga ditemukan dalam masa jabatan Kretanegara maupun Hayam Wuruk sehingga Boechari berpendapat bahwa itu bukan tidak cocok untuk menyatakan dia hanya menggantikan atas nama. Namun mengenai mengapa Tribhuwana tidak meneruskan tahta setelah kematian ibunya Boecahari masih belum menemukan jawaban yang tepat (Soemadio 1993).
[7] Baca tulisan Prof. Agus Aris Munandar tentang Gajahmada yang mencoba merekonstruksi silsilahnya. Ia berpendapat kedudukan Gajah Mada yang tinggi pasti didukung posisinya yang mungkin juga keluarga Singhasari Munandar, A.A. (2011) “Gajahmada: Sebuah Biografi Politik”. Jakarta: Komunitas Bambu.
[8] Baca uraian Munandar, A.A. (2003) “Aksamala: Untaian Persembahan untuk Ibunda Prof. Dr. Edi Sedyawati.” Jakarta: Akademia, dan Rahardjo, S. (2002) “Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno”. Jakarta: Komunitas Bambu, mengenai hal tersebut.
[9] Kebesaran Majapahit tergambarkan juga pada berita-berita di kerajaan lain baik Asia Tenggara maupun Cina, India dan belahan lain sebagaimana halnya dikemukakan Coedes, G (2010). “Asia Tenggara masa Hindu-Buddha.” Jakarta: KPG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar