KEPEMILIKAN BENDA CAGAR BUDAYA
(ANTARA KEWAJIBAN DAN HAK)
Deny Yudo Wahyudi*
Abstrak: Indonesia adalah bangsa yang
memiliki warisan budaya cukup banyak untuk dilindungi dan dilestarikan.
Beberapa di antaranya masih dapat kita jumpai dalam keadaan utuh, namun di sisi
lain banyak pula yang telah menjadi reruntuhan saja. Bentuk yang diwarisakan
dapat berupa warisan bendawi maupun warisan non bendawi, yaitu berupa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Benda-benda tersebut ada yang dikelola
oleh negara melalui museum maupun instansi pemerintah lainnya dan ada pula yang
dimiliki oleh masyarakat karena warisan keluarga maupun koleksi pribadi. Untuk
memfasilitasi usaha preservasi dan konservasi tersebut, maka pemerintah telah mengeluarkan
UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam UU ini telah diatur pula
kewajiban dan hak pemilik benda cagar budaya dalam upaya ikut melestarikan
warisan budaya milik bangsa Indonesia
tersebut.
Kata kunci: kepemilikan, benda cagar
budaya, UU No 5 1992, kewajiban, hak.
Kebudayaan
sering diartikan sebagai sebuah proses bagaimana manusia meningkatkan taraf
hidupnya demi kelangsungan dan perbaikan nilai-nilai kehidupan. Kebudayaan ini
selanjutnya diperoleh dengan cara belajar (dipelajari, by learning) bukan sebagai warisan biologis (heredity, sebagaimana halnya warisan genetik), namun mempunyai kedudukan
sebagai warisan sosial. Artinya, kebudayaan diwariskan dengan jalan dipelajari
dan dilestarikan serta berkembang dalam masyarakat pendukungnya. Jika kita
melihat wujud dari kebudayaan, maka paling mudah kita mengikuti berbagai
pendapat lama para ahli antropolog yang mengelompokkannya dalam tiga wujud
kebudayaan, yaitu: sebagai sistem gagasan, sistem sosial dan material
kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990).
Sistem gagasan dianggap sebagai subjek terpenting dari
kebudayaan. Hal ini didukung oleh para penganut aliran idealistik. Kebudayaan
lahir karena sebuah sistem gagasan (ide) yang kemudian menjadi dinamis juga
karena ide-ide yang mengembangkannya. Hal ini dapat kita lihat baik pada
kebudayaan sebagai sistem sosial maupun kebudayaan sebagai materi. Perilaku
adat maupun tradisi bertahan dan berkembag karena gagasan-gagasan yang
mendukungnya, demikian pula hasil-hasil berupa material culture hadir karena ide-ide pembuat maupun masyarakat
pendukungnya. Berbagai kebudayaan bendawi (tangible) mempunyai konsep adiluhung di
balik "kebendaannya", sehingga ide itu tidak hanya nampak pada wujud
benda tersebut saja namun juga pada nilai-nilai (values) yang terkandung di dalamnya (Sedyawati, 2003). Contohnya
pada tarian sakral di Jawa yang mempunyai konsep gagasan religius-historis, demikian
pula dengan keserasian gerak, tema dan irama pengiringnya menampakkan nilai
gagasan estetika yang adiluhung dengan nilai-nilai simbolik tertentu. Sistem
gagasan secara eksplisit dapat pula dilihat dari berbagai hukum adat,
norma-norma yang berkembang di dalam masyarakat dan norma sosial-budaya lain
yang mungkin telah dialihkan dari tradisi oral menjadi tradisi lisan. Gagasan
ini menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia mempunyai keberagaman pandangan
dunia dan pengalaman hidup serta tradisi historis yang panjang.
Sistem sosial sebagai wujud kedua dapat diamati dari
tradisi-tradisi yang masih dijalankan. Perilaku sosial tersebut dapat pula
diuraikan secara visual maupun
kandungan nilai-nilai simbolik yang ada di dalamnya. Wujud yang ketiga adalah
kebudayaan materi, yaitu hasil kebudayaan dalam bentuk bendawi (artefaktual).
Kebudayaan yang tangible ini adalah yang paling mudah dikenali dan
ditemukan, meskipun mungkin sudah tidak utuh lagi.
Tiga wujud kebudayaan tadi jika kita hendak jabarkan lebih
jauh lagi dapat diuraikan dengan tujuh unsur kebudayaan, yaitu: bahasa, sistem
religi, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup,
sistem sosial, sistem pengetahuan dan kesenian. Masing-masing dari ketujuh
unsur tersebut dapat kita gambarkan satu persatu wujud sistem gagasan, sistem
sosial dan kebudayaan materinya (Koentjaraningrat, 1992).
Pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebagai teks
dan kebudayaan sebagai sistem simbol (Masinambow,
2002). Suatu hal yang penting adalah bahwa kebudayaan mengandung nilai-nilai (values)
di dalamnya. Pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai sistem
simbol justru memperkuat pemikiran bahwa nilai (value) di dalam kebudayaan materi itu sangat penting. Salah satu
hal untuk mengetahui keragaman nilai tersebut adalah dari kelengkapan atribut
yang melekat pada benda cagar budaya. Jika atribut tersebut hilang baik yang
berupa atribut historis, konteks temuan maupun bentuk mengalami
ketidaklengkapan data, maka kandungan nilai (value) juga menjadi tidak lengkap. Nilai-nilai ini yang akan memberikan bobot
kebudayaan tersebut dapat terus bertahan dan memiliki keunikan atau kekhasan tersendiri.
Sumber daya budaya sebagai wujud keintegralan hal-hal
tersebut di atas tadi, kemudian berkedudukan sebagai salah satu aset yang
sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Keberhargaannya kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya, beserta peraturan turunannya sebagai pedoman
pelaksanaan. Namun, keberhasilan melestarikan benda cagar budaya sebagai salah
satu sumber daya budaya perlu suatu tekad nasional dari berbagai kalangan.
Pihak
di luar pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya budaya ini
salah satunya adalah pemilik benda cagar budaya itu sendiri. Jenis pemilik ini
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: individu dan kelompok. Pihak individu dalam
hal penyimpanan koleksinya dapat berupa pribadi dan umum (galeri atau museum
pribadi). Pihak kelompok dapat berbentuk kelompok lepas (sekumpulan pribadi
yang mempunyai kesamaan minat), paguyuban, keluarga maupun yayasan. Keiinginan
untuk melestarikan tidak semua
memilikinya, ada yang sangat peduli atau hanya sekedar menyimpan saja, bahkan
ada pula yang memang hanya berniat berdagang barang-barang antik, pada kasus
ini pemilik benda cagar budaya seringkali memanfaatkan benda cagar budaya sebagai
sumber mata pencaharian dengan memburu dan memperjualbelikannya. Bahkan ada
yang dengan sengaja merombak dengan tanpa mengikuti kaidah pemugaran benda
cagar budaya yang berlaku atau merusak dengan sengaja karena dinilai tidak
memberikan nilai ekonomis (Reilly & Rahtz,
1992).
Pengalihfungsian
warisan sumber daya budaya seringkali berkaitan dengan kepentingan pihak
tertentu. Beberapa kelompok kalangan sengaja tidak merubah fungsi karena
berkaitan dengan usaha konservasi dan preservasi. Di sisi lain, terdapat
kalangan yang sengaja mengalihkan fungsinya untuk kepentingan ekonomis
(kepentingan pariwisata atau nilai ekonomis kebendaan) maupun untuk tujuan
religiu, misalnya untuk penyelenggaraan upacara keagamaan maupun aliran
kepercayaan tertentu (Kaplan & Manners, 1999).
UU
No 5 tentang Benda Cagar Budaya sebagai upaya konservasi dan preservasi ini
juga menjabarkan kewenangan pemerintah serta kewajiban dan hak para pemilik
benda cagar budaya. Konsep “benda” di sini seharusnya selain berarti bendawi (tangible, yang dapat disentuh) juga
mencakup yang tak bendawi (intangible,
yang tak dapat disentuh). Sumber daya budaya intangible tersebut dapat dicontohkan misalnya: seni musik, seni
tari, seni batik kemampuan membuat gamelan atau keris, resep pengobatan
tradisional, tradisi leluhur dan lain sebagainya. Ini semua adalah warisan yang
justru jika tidak dilindungi dan dilestarikan akan punah atau diakui oleh
negara lain (misalnya seni batik dan musik daerah diakui milik Malaysia ataupun ketrampilan membuat tempe diakui Jepang).
Untuk itu berikut ini akan diuraikan pasal-pasal yang membahas kewajiban dan
hak para pemilik warisan sumber daya budaya.
Kewajiban
Kewajiban adalah suatu tugas yang melekat padanya, artinya
sesuatu yang harus dikerjakan. Keharusan ini bersifat mengikat, karena jika
dilanggar atau tidak dikerjakan mengandung resiko. Resiko yang berkaitan dengan
hukum adalah pemberian sanksi. Undang-Undang inipun telah mengatur hal
tersebut.
Kewajiban para pemilik benda cagar budaya sesuai dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dapat diuraikan
pasal-perpasal sebagaimana berikut:
Ø
Pasal 6, ayat
1
Benda
cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan
tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
Memperhatikan
fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini
dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
serta pelestariannya.
Ø
Pasal 7, ayat
1
Pengalihan
kepemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia secara
turun-temurun atau karena pewarisan hanya dapat dilakukan oleh Negara.
Ø
Pasal 8, ayat
1
Setiap
pemilikan, pengalihan hak dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu
sebagaimana dimaksud dalam pasa16 dan 7 wajib didaftarkan.
Ø
Pasal 9
Setiap
orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, yang benda cagar budayanya hilang dan
atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak diketahui hilang atau rusaknya benda
cagar budaya tersebut.
Ø
Pasal 13,
ayat 1
Setiap
orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan
memeliharanya.
Ø
Pasal 13,
ayat 2
Perlindungan
dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah, keaslian bentuk dan
pengamanannya.
PASAL
|
SUBSTANSI
|
URAIAN
|
1
|
2
|
3
|
Pasal 6, ayat 1
|
Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau
dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Memperhatikan
fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini
dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
serta pelestariannya.
|
Hak untuk dapat memiliki benda cagar budaya tetap diberi
peluang oleh pemerintah, namun harus atau wajib memperhatikan fungsi sosial.
Artinya, benda cagar budaya itu sebenarnya harus terbuka untuk publik karena
pada dasarnya itu milik negara yang diperkenankan dikelola pihak swasta.
Keterbukaan akan fungsi sosial ini terlebih pada pengembangan ilmu
pengetahuan dan upaya konservasi
|
Pasal 7, ayat 1
|
Pengalihan
kepemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia secara
turun-temurun atau karena pewarisan hanya dapat dilakukan oleh Negara.
|
Artinya, pengalihan kepemilikan hanya boleh oleh negara.
Proses transaksi jual beli bukan kepada pemerintah tidak diperbolehkan.
Pemerintah akan memberi kompensasi nilai historis dan budaya bagi pemilik
yang mengalihkan kepemilikannya pada pemerintah
|
Pasal 8, ayat 1
|
Setiap
pemilikan, pengalihan hak dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu
sebagaimana dimaksud dalam pasa16 dan 7 wajib didaftarkan.
|
Artinya, kepemilikan atas benda cagar budaya harus
sepengetahuan pemerintah, yaitu didaftarkan dan dicatat dalam arsip
pemerintah. Pemindahan tempat pada benda cagar budaya bergerak juga harus
didaftarkan pada pemerintah, hal ini untuk melacak mobiltasnya
|
Pasal 9
|
Setiap
orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, yang benda cagar budayanya hilang
dan atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak diketahui hilang atau rusaknya
benda cagar budaya tersebut.
|
Kehilangan maupun kerusakan wajib dilaporkan pemerintah,
hal ini akan berkaitan dengan data dan usaha konservasi di kemudian hari.
Data dari atribut sangat berguna untuk ilmu pengetahuan, sehingga kerusakan
akan sangat berpengaruh pada kelengkapan data tersebut
|
Pasal 13, ayat 1
|
Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda
cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.
|
Kewajiban utama para pemilik adalah keikutseraan dalam
usaha konservasi dan preservasi
|
Pasal 13, ayat 2
|
Perlindungan
dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah, keaslian bentuk dan
pengamanannya.
|
Artinya, pemilik dilarang mengubah, mengurangi maupun
menambah nilai sejarah dan keaslian bentuk sehingga keaslian data untuk
kepentingan konservasi dan preservasi. Kegiatan pengamanan harus tetap dijaga
tanpa merusak bendanya
|
Hak
Hak
merupakan perolehan yang melekat padanya. Artinya sesuatu yang dapat diperoleh.
Perolehan ini bersifat kompensasi atas kewajiban yang dapat dan telah
dijalankan.
Hak para pemilik benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam
UndangUndang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah sebagaimana
berikut:
Ø
Pasal 6, ayat
1
Benda
cagar budaya tertentu dapat dimiliki
atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Memperhatikan
fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini
dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
serta pelestariannya.
Ø
Pasal 7, ayat
2
Pengalihan
pemilikan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
pemberian imbalan yang wajar.
Ø
Pasal 19,
ayat 1
Benda
cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentlngan agama, sosial,
pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
PASAL
|
SUBSTANSI
|
URAIAN
|
1
|
2
|
3
|
Pasal 6, ayat 1
|
Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap
memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
Memperhatikan
fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini
dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
serta pelestariannya.
|
Pemerintah Indonesia
memberikan hak untuk dapat memiliki benda cagar budaya, namun jika melihat UU
ini maka hak tersebut hanya dimungkin kan
karena faktor warisan, koleksi sebelum UU ini berlaku maupun hak pinjam
kelola.
|
Pasal 7, ayat 2
|
Pengalihan pemilikan benda cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai pemberian imbalan yang wajar.
|
Pemerintah akan memberi kompensasi nilai historis dan
budaya bagi pemilik yang mengalihkan kepemilikannya pada pemerintah ataupun
melaporkan temuannya. Kompensasi ini didasarkan pada nilai historis dan
kewajaran untuk benda dengan bahan berharga, misal logam mulia
|
Pasal 19, ayat 1
|
Benda
cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentlngan agama, sosial,
pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
|
Artinya, pemilik diperbolehkan mengalihfungsikan warisan
sumber daya budayanya untuk kepentingan tertentu tanpa melanggar
kaidah-kaidah dalam konservasi dan preservasi
|
Kepemilikan Benda
Cagar Budaya
Benda Cagar budaya yang kita jumpai sekarang, banyak dimiliki
oleh perseorangan maupun yayasan.
Kepemilikan tersebut diperbolehkan Undang-Undang namun dengan tugas dan
ketentuan yang melekat padanya. Pelestarian merupakan tugas pokok dari para
pemilik. Pelestarian ini dapat berupa pemeliharaan, perawatan dan menjaganya
dari kerusakan.
Kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi setidaknya dapat
dilihat dari 3 aspek, yaitu kerusakan teknis, kerusakan fungsional dan kerusakan
ekonomis (Cleere, 1984). Kerusakan teknis dapat disebabkan karena mudah lapuk
atau rusaknya bahan pembuatnya dan kerusakan karena kurang keterawatan. Hal ini
dapat terjadi pada benda-benda yang dibuat dari bahan yang tidak awet, misal
kertas, kayu ataupun kain. Pada sumber daya budaya intangible dapat terjadi karena kurang atau punahnya komunitas
pendukung kebudayaan tersebut.
Kerusakan fungsional dapat terjadi karena perubahan atau
pemberian makna baru terhadap benda cagar budaya tersebut. Hal ini dapat juga
berupa perubahan perlakuan seseorang atau kelompok karena kepentingan politis
(contohnya adalah perombakan Candi Cetha di lereng Gunung Lawu yang dilakukan aliran
kepercayaan tertentu demi rezim yang sedang berkuasa).
Sedangkan kerusakan ekonomis dapat terjadi karena proses jual
beli dan perusakan benda cagar budaya karena dinilai tidak memberikan
keuntungan ekonomis. Juga dapat berupa penambahan beberapa unsur tertentu pada
benda cagar budayanya karena kepentingan ekonomis (seperti halnya yang terjadi
pada Situs Sangiran yang dibangun menara pada zone terlarangnya / zone I).
Perlindungan (preservasi) adalah tugas lain dari pemilik benda
cagar budaya. Perlindungan yang paling penting adalah dengan mematuhi
Undang-Undang dan peraturan turunannya dengan benar. Kemudian dengan tetap menjaga
nilai sejarah, keaslian serta nilai pengetahuannya (Cleere, 1989). Selain itu,
adalah pengamanan benda cagar budaya itu sendiri, sehingga keberadaan dan
keasliaannya tetap terjaga.
Hal penting lainnya adalah ikut pula menjaga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut teruraikan sebagaimana berikut ini
(Feiden,. & Jokilehto, 1983):
1.
Nilai estetis,
merupakan nilai yang memuat potensi keindahan yang dapat berupa: gaya tradisional dari suatu produk pada suatu masa
tertentu maupun gaya
tradisional dari suatu kebudayaan serta nilai psikologis yang berkaitan dengan
nilai estetis tersebut.
2.
Nilai simbolik
dapat terlihat pada unsur pemaknaan berbagai bentuk kebendaan maupun
konsep-konsep yang dikembangkan. Nilai simbolik ini dapat berupa: pengetahuan
tradisional baik tentang teknologinya maupun konsep simbolik di dalamnya,
konteks sejarah yang menyertainya, tradisi lisan ataupun foklore yang dapat
dihubungkan dengan benda cagar budaya tersebut dan mungkin landskap bagi
bangunan bersejarah.
3.
Nilai tradisional
banyak sekali dapat kita gali dari benda cagar budaya tersebut. Hal ini dapat
kita kaji dari berhagai bidang kajian seperti: Arkeologi, Sejarah, Antropologi,
Arsitektur, Folklore, Filologi dan masih banyak lagi.
4.
Nilai ekonomis
dapat dikaitkan dengan kegiatan pemanfaatannya.
Penutup
Kepedulian terhadap benda cagar budaya yang dimiliki baik
oleh pemerintah dan utamanya milik pribadi, berarti merupakan potensi awal
dalam upaya menuju tekad nasional melestarikan budaya bangsa. Sumber daya
budaya merupakan modal bagi bangsa Indonesia untuk mengangkat
derajatnya, terlebih lagi sekarang yang berada dalam kondisi terpuruk di mata
internasional.
Kesungguhan dan tentunya dengan prosedur yang benar terhadap
pelestarian benda bagar budaya merupakan nilai positif di mata dunia
internasional yang ikut peduli dengan warisan budaya Indonesia yang kaya. Hal ini akan
membantu memulihkan kepercayaan dunia internasional untuk mengembalikan
beberapa aset sumber daya budaya khususnya bendawi yang sekarang tersebar di
belahan dunia untuk dikembalikan dan dipelihara di Indonesia.
Penetapan Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya merupakan upaya pemerintah meletakkan pengaturan benda cagar budaya
sebagaimana mestinya dengan tetap memperhatikan berbagai konvensi
internasional. Kesuksesan penerapannya harus dilandasi dengan perencanaan
sosialisasi dan konsistensi pemberlakuan hukum sehingga masyarakat akan
memandang keseriusan pemerintah dalam menjalankannya. Peran dunia Perguruan
Tinggi dalam membantu kelancaran pelaksanaan UU ini cukup besar, sumber daya
manusia dalam bidang humaniora dapat dimanfaatkan dalam hal sosialisasi dan
konsultasi kepakaran, utamanya bagi kepemilikan benda cagar budaya dan
konflik-konflik yang berkaitan dengan materi historis dan nilai ilmu
pengetahuan yang terkandung dalam benda cagar budaya tersebut.
Pemanfaatan sumber daya budaya dalam hal pengembangan ilmu
pengetahuan dapat merujuk pada faktor emik dan etik (Poerwanto, 2000). Artinya,
masyarakat dapat tetap menjaga dan melestarikan warisan sumber daya budayanya
dengan mengikuti kaidah yang dianut oleh komunitasnya dan di sisi lain pihak
akademisi dan pemerhati budaya dapat mempelajari dan melestarikannya dari segi
akademis.
Kepemilikan
benda cagar budaya yang masih memperoleh perijinan di Indonesia seharusnya disyukuri
dengan jalan memperhatikan tugas-tugas yang harus dilakukan. Kesadaran tentang
ketidakmampuan menanganinya sendiri dapat diatasi melalui kerjasama dengan
pihak Perguruan Tinggi maupun ahli konservasi. Jika memang sudah tidak sanggup
atau tidak berminat memelihara dan melestarikannya sendiri, maka alangkah
bijaksana jika menitipkan atau menyerahkannya pada Negara dengan cara
dihibahkan.
Daftar Rujukan
Cleere, H. 1984. Approaches to the Archaeological
Heritage. (Ed). Cambridge: Cambridge University
Press.
Cleere, H. 1989. Archaeological Heritage Management in the
Modern World. (Ed). London:
Unwin Hyman Ltd.
Feiden, B.M., & Jokilehto, J. 1983. Management
Guidelines for World Heritage Sites. (Eds). Roma: ICCROM.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Repuhlik Indonesia
tentang Benda Cagar Budaya. 1997. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kaplan, D., & Manners, A.A. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar
llmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa
Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
Dian Rakyat.
Masinambouw, E.K.M. 2002. Makna Sebagai Konsep Transdisiplin.
Sebuah Pengantar. Dalam Semiotik:
Kumpulan Makalah Seminar. Masinambow, E.K.M & Hidayat, R.S. (eds.).
Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia.
Poerwanto, H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam
Perspektif Antropologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Reilly, P., & Rahtz, S. 1992. Archaeology
and the information Age: A Global Perspective.
(Eds). London:
Routledge.
Sedyawati, E. 2003. Warisan Budaya Intangible yang “Tersisa”
dalam yang Tangible. Pidato Purnabakti. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
*
Deny Yudo Wahyudi adalah staf pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang dan dapat dihubungi melalui E-mail: deny_yudowahyudi@um.ac.id
Terimakasih dosen saya,,,
BalasHapusjadi tambah pengetahuan