Minggu, 28 Oktober 2012

SOSOK GAYATRI DALAM SEJARAH Oleh: Deny Yudo Wahyudi



SOSOK GAYATRI DALAM SEJARAH[1]
Oleh: Deny Yudo Wahyudi[2]

Sebagai pendahuluan perlu saya sampaikan penghargaan tinggi kepada Prof. Drake atas kesediaan dan minat beliau mempelajari sejarah serta kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak banyak orang Indonesia sendiri yang peduli terhadap sejarah bangsanya, namun perhatian lebih justru diperlihatkan oleh seorang Canada yang pernah bertugas cukup lama di Indonesia. Semoga buku ini bermanfaat dalam menambah khasanah berpikir kita terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Pergulatan menarik ditunjukkan Prof. Drake ketika akan memilih tema tulisan sejarah sebagai kebiasaan beliau ketika bertugas di luar negeri. Pilihan terhadap sosok Gayatri sebagai bahan tulisan patut diacungi ibu jari karena beliau tidak tergoda untuk mengangkat nama-nama besar dalam sejarah Majapahit, semisal Prabu Wijaya, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada ataupun kalau tokoh wanita, Tribhuana dan Suhita lebih banyak perannya dalam sejarah kerajaan. Selanjutnya saya akan sedikit berdiskusi dengan tulisan Prof. Drake melalui tulisan sederhana, karena jika melakuklan kontra tulisan memerlukan waktu panjang untuk mempersiapkan suatu proses metode sejarah yang baik.

Gayatri sebuah biografi yang samar
Alasan saya mengangkat sub judul ini karena sosok tokoh Gayatri ini dikenal namun tidak banyak sumber sejarah yang mencatat nama maupun aktifitasnya. Gayatri dikenal sebagai salah satu putri Kertanegara raja Singhasari terakhir. Tidak banyak sumber yang menceritakan tentang biografinya ketika menjadi putri Singhasari[3]. Silsilah raja Singhasari dan Majapahit yang ternaung dalam pohon dinasti Girindra-rajasa wangsa dapat diperoleh penuturan Nagarakrtagama dan Prasasti Mula-Malurung (1255 M). Penemuan prasasti Mula-Malurung semakin memperjelas silsilah raja-raja Singhasari sebagai pendahulu raja-raja Majapahit. Sumber lain selama ini hanya Pararaton dan Nagarakrtagama. Informasi yang diberikan oleh Mula-Malurung banyak yang memperkuat atau bahkan memperjelas kisah dalam Pararaton, karena tidak semua hal kisah dalam Pararton tergambarkan dengan jelas dan justru beberapa menimbulkan pertanyaan.
Silsilah raja-raja Singhasari menunjukkan bahwa semua cabang dalam keluarga ini pernah memerintah[4] dalam tahta Singhasari. Hal yang menarik bahwa politik perkawinan  selain sebagai upaya konsolidasi dan meredam suksesi juga dapat berakibat berlawanan, yaitu penuntutan hak atas tahta. Sebagai contoh adalah tokoh Jayakatwang raja bawahan di Kadiri, ia adalah keturunan dari raja-raja Kadiri dari ayahnya yaitu Sastrajaya, dari pihak ibunya dia adalah keturunan Singhasari, karena saudara perempuan Wisnuwardhana, jadi masih sepupu dengan Kretanagara. Selain itu ia adalah ipar sekaligus besan Kretanegara karena istrinya adalah saudara Kretanegara dan anaknya adalah menantu Kretanegara.
Sekarang yang menjadi pertanyaan siapakah calon yang dipersiapkan oleh Kretanegara sebagai penggantinya. Baik Pararaton, Nagarakretagama maupun Prasasti Mula-malurung tidak memperlihatkan hal tersebut. Jika Kretanegara tidak memiliki seorang putra mahkota maka putri-putrinyalah yang mewarisi tahta. Mungkin saja Wijaya yang keponakan Kretanegara dan mewarisi tahta dari jalur ayah dan kakeknya dianggap pantas menerima hak waris tersebut. Jika benar R- Wijaya awalnya hanya menikahi 2 putri Singhasari kemungkinan besar adalah si sulung Tribhuaneswari (yang mungkin mewarisi tahta) dan Gayatri (yang mungkin sudah diperistri dahulu jika mengingat ia yang diangkat sebagai Rajatpatni). Tetapi ini perlu penelaahan lebih lanjut.

Gayatri seorang Rajapatni
Gelar Rajapatni disematkan kepada Gayatri sungguh sebuah tanda tanya besar, seberapa penting kedudukannya dalam istana Majapahit. Rajatpani adalah gelar yang berarti istri utama raja, sekarang apa bedanya dengan prameswari yang disandang oleh Tribhuaneswari. Prameswari adalah kedudukan utama sebagai penghormatan istri utama yang tertua (usia) sedangkan Rajapatni justru mungkin sebagai bupati estri[5] yaitu pemimpin para wanita utama di istana Majapahit, dan mungkin juga adalah istri kesayangan raja, jika mengingat kemungkinan ia adalah istri awal raja.
Tahta atas Majapahit jatuh pada tangan Jayanegara putra Wijaya dengan Tribhuneswari (hal ini diperkuat oleh prasasti Sukamerta dan Balawi), karena Jayanegara tidak mempunyai anak maka tahta jatuh pada adik tirinya, yaitu Tribhuwanadewi putri Gayatri. Ada pendapat yang menyatakan bahwa gayatri yang memperoleh hak atas tahta karena ungkapan mangkamangalya atau memerintah atas namanya ketika Tribhuwanadewi naik tahta. Pendapat tersebut menerangkan bahwa Gayatri sebagai istri utama raja pendahulu berhak atas tahta namun karena sudah menjadi bhiksuni Buddhis maka menyerahkan tahtanya pada sang putri, sehingga ia memerintah atas nama ibunya. Setelah sang ibu wafat maka Tribhuwana menyerahkan tahta pada anaknya sang Hayam Wuruk pada tahun 1350. Boechari menentang pendapat tersebut karena tidak lazim tahta diberikan pada istrinya, biasanya jika seorang raja mangkat tanpa pengganti maka adiknyanyalah yang akan meneruskan tahtanya[6].


Gayatri dan masa akhirnya
Kehidupan dan peranan Gayatri dalam masa akhir hidupnya tidak banyak diberitakan baik oleh prasasti maupun naskah. Mungkin saja peranan beliau sangat besar seperti yang dicoba gambarkan Prof. Drake. Yang jelas ketika ia hidup, suaminya adalah raja Majapahit dan ia adalah rajatni, istri utama. Dari rahimnya lahir dua putri, Tribhuwanadewi yang menjadi raja dan adiknya Rajadewi Maharajasa menurunkan raja-raja Majapahit dan mungkin orang-orang terkemuka nusantara hingga sekarang. Tribhuwana dan adiknya serta cucu-cucunya, seperti Hayam Wuruk, Rajaduhitecwari (adik Hayam Wuruk), Paduka Sori (istri Hayam Wuruk, putri Rajadewi) serta adiknya Rajaduhintendudewi berada dalam asuhannya, mungkin juga Gajahmada muda[7], sebagaimana halnya yang coba direkonstruksi oleh Prof. Drake dalam buku Gayatri.
Setelah meninggal diberitakan bahwa Gayatri dibuatkan arca Prajnaparamita di Prajnaparamitapuri dan didharmakan di Bhayalangu. Apakah Prajnaparamitapuri sama dengan Bhayalangu perlu pemikiran lebih lanjut[8], karena kita perlu cermat membaca “mwan taiki ri bhayalangӧ ngwanira san sri rajapatnin dinarma” Kata mwan taiki yang diartikan kemudian lagi sekarang apakah tidak menunjukkan bahwa selain Prajnaparamitapuri ada juga Bhayalangu sebagai tempat pendharmaan gayatri setelah beliau mangkat dan dilakukan upacara sraddha sebagai peringatan kematiannya. Mengenai arca Prajnaparamita, Munandar (2003) mengasumsikan dengan bagus bahwa arca Prajnaparamita yang berasal dari kompleks Candi Singosari justru pas jika diidentikkan dengan sosok Gayatri. Sedangkan Sidomulyo meragukan dan hampir pasti menolak menyamakan sudharma haji Bhayalango dengan Candi Bhayalango di Tulungagung karena berdasarkan letak kedudukan Bhayalango dalam rute perjalanan Hayam Wuruk yang dikisahkan pada Nagarakretagama justru harus dicari di antara Bangil dan Pasuruan.

Penulisan Sejarah Majapahit
Sebagai penutup maka mungkin buku ini pas jika diletakkan sebagai novel sejarah, karena untuk menjadi rujukan ilmiah perlu kajian-kajian sumber sejarah yang lebih kuat dan detail. Namun usaha Prof. Drake mengangkat biografi gayatri patut kita berikan apresiasi sebagai usaha keras beliau mengenai sosok besar yang agak terlupakan namun berjasa pada kebesaran Majapahit sebuah kerajaan besar[9].
Kedudukan utama dalam penulisan sejarah (kuno utamanya) menempatkan informasi dari prasasti sebagai sumber data primer, baru kemudian naskah dan sumber-sumber lain semacam novel sejarah seperti buku ini. Sumber data tertulis mengenai Majapahit sangat berlimpah baik prasasti, kronik atau berita asing, catatan perjalanan, naskah baik sejaman maupun tidak serta sumber data folklore. Perlakuan terhadap jenis-jenis sumber data ini sangat berbeda sesuai dengan tahapan verivikasi dalam metode sejarah.
Mudah-mudahan tulisan Prof. Drake ini mengisi beberapa kekosongan sumber sejarah mengenai Majapahit, dan menginspirasi banyak orang khususnya Indonesia untuk peduli dan menambah khasanah tersebut. Sukses untuk Prof. Drake.





[1] Judul ini sebagai pembahasan terhadap buku Prof. Earl Drake, Gayatri Rajapatni: Perempuan di balik kejayaan Majapahit dalam acara Diskusi publik yang diselenggarakan oleh BEM FIS UM pada tanggal 2 April 2012. Drake, E. (2012) “Gayatri Rajapatni: Perempuan di balik Kejayaan Majapahit”. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[2] Penyaji adalah staf pengajar di Jurusan Sejarah FIS UM. Mendalami arkeologi sejarah di UI.
[3] Putri Kertanegara yang dikenal menjadi istri dari penguasa pertama Majapahit ada 4 orang, yaitu Sri Parameswari Tribuaneswari, Sri Mahadewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Gayatri. Ada perbedaan menarik mengenai istri Wijaya. Pararaton dan Kidung mengisahkan hanya 2 putri saja yang menjadi istrinya sedangkan Prasasti Sukamrta (1296 M), Prasasti Balawi (1305 M), dan Nagarakretagama menyebutkan 4 istri Wijaya adalah putri Kertanegara Djafar, H. (2009) “Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya”. Jakarta: Komunitas Bambu., Soemadio, B. Ed. (1993) “Jaman Kuno (awal M-1500 M), Sejarah Nasional Indonesia II”. Jakarta: balai Pustaka., dan Munoz, P.M. (2009) “Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan indonesia dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Prasejarah-Abad XVI).” Yogyakarta: Mitra Abadi. Tentang istri Ardharaja yang kemungkinan juga diperistri oleh Wijaya bisa saja terjadi mengingat kebiasaan memboyong tawanan perang, dan mungkin ia adalah salah satu dari keempat putri tersebut (Soemadio 2009).
[4] Ada 3 pohon yang pernah memerintah, yaitu pohon Ken Dedes-Tunggul Ametung diwakili oleh Anusapati, Wisnuwardhana, dan Kretanegara. Pohon Ken Dedes-Ken Angrok diwakili oleh Nararrya Mahisa Wonga Teleng, Nararrya Ghuning Bhaya, dan Nararrya Waning-Hyun. Sedangkan dari cabang silsilah Ken Angrok-Ken Umang naik tahtalah Nararrya Tohjaya Sidomulyo, H. (2007) “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca.” Jakarta: Penerbit WWS.
[5] Model bupati estri ini masih nampak pada keraton-keraton di Jawa hingga sekarang, jabatan ini menempatkan yang bersangkutan semacam patih yang mengurus semua urusan dalam istana. Kedudukannya sangat terhormat, kuat dan menentukan.
[6] Istilah mangkamangalya ini juga ditemukan dalam masa jabatan Kretanegara maupun Hayam Wuruk sehingga Boechari berpendapat bahwa itu bukan tidak cocok untuk menyatakan dia hanya menggantikan atas nama. Namun mengenai mengapa Tribhuwana tidak meneruskan tahta setelah kematian ibunya Boecahari masih belum menemukan jawaban yang tepat (Soemadio 1993).
[7] Baca tulisan Prof. Agus Aris Munandar tentang Gajahmada yang mencoba merekonstruksi silsilahnya. Ia berpendapat kedudukan Gajah Mada yang tinggi pasti didukung posisinya yang mungkin juga keluarga Singhasari Munandar, A.A. (2011) “Gajahmada: Sebuah Biografi Politik”. Jakarta: Komunitas Bambu.
[8] Baca uraian Munandar, A.A. (2003) “Aksamala: Untaian Persembahan untuk Ibunda Prof. Dr. Edi Sedyawati.” Jakarta: Akademia, dan Rahardjo, S. (2002) “Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno”. Jakarta: Komunitas Bambu, mengenai hal tersebut.
[9] Kebesaran Majapahit tergambarkan juga pada berita-berita di kerajaan lain baik Asia Tenggara maupun Cina, India dan belahan lain sebagaimana halnya dikemukakan Coedes, G (2010). “Asia Tenggara masa Hindu-Buddha.” Jakarta: KPG.

KEPEMILIKAN BENDA CAGAR BUDAYA (ANTARA KEWAJIBAN DAN HAK)



KEPEMILIKAN BENDA CAGAR BUDAYA
(ANTARA KEWAJIBAN DAN HAK)


Deny Yudo Wahyudi*



Abstrak: Indonesia adalah bangsa yang memiliki warisan budaya cukup banyak untuk dilindungi dan dilestarikan. Beberapa di antaranya masih dapat kita jumpai dalam keadaan utuh, namun di sisi lain banyak pula yang telah menjadi reruntuhan saja. Bentuk yang diwarisakan dapat berupa warisan bendawi maupun warisan non bendawi, yaitu berupa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Benda-benda tersebut ada yang dikelola oleh negara melalui museum maupun instansi pemerintah lainnya dan ada pula yang dimiliki oleh masyarakat karena warisan keluarga maupun koleksi pribadi. Untuk memfasilitasi usaha preservasi dan konservasi tersebut, maka pemerintah telah mengeluarkan UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam UU ini telah diatur pula kewajiban dan hak pemilik benda cagar budaya dalam upaya ikut melestarikan warisan budaya milik bangsa Indonesia tersebut.

Kata kunci: kepemilikan, benda cagar budaya, UU No 5 1992, kewajiban, hak.


Kebudayaan sering diartikan sebagai sebuah proses bagaimana manusia meningkatkan taraf hidupnya demi kelangsungan dan perbaikan nilai-nilai kehidupan. Kebudayaan ini selanjutnya diperoleh dengan cara belajar (dipelajari, by learning) bukan sebagai warisan biologis (heredity, sebagaimana halnya warisan genetik), namun mempunyai kedudukan sebagai warisan sosial. Artinya, kebudayaan diwariskan dengan jalan dipelajari dan dilestarikan serta berkembang dalam masyarakat pendukungnya. Jika kita melihat wujud dari kebudayaan, maka paling mudah kita mengikuti berbagai pendapat lama para ahli antropolog yang mengelompokkannya dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu: sebagai sistem gagasan, sistem sosial dan material kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990).
Sistem gagasan dianggap sebagai subjek terpenting dari kebudayaan. Hal ini didukung oleh para penganut aliran idealistik. Kebudayaan lahir karena sebuah sistem gagasan (ide) yang kemudian menjadi dinamis juga karena ide-ide yang mengembangkannya. Hal ini dapat kita lihat baik pada kebudayaan sebagai sistem sosial maupun kebudayaan sebagai materi. Perilaku adat maupun tradisi bertahan dan berkembag karena gagasan-gagasan yang mendukungnya, demikian pula hasil-hasil berupa material culture hadir karena ide-ide pembuat maupun masyarakat pendukungnya. Berbagai kebudayaan bendawi (tangible) mempunyai konsep adiluhung di balik "kebendaannya", sehingga ide itu tidak hanya nampak pada wujud benda tersebut saja namun juga pada nilai-nilai (values) yang terkandung di dalamnya (Sedyawati, 2003). Contohnya pada tarian sakral di Jawa yang mempunyai konsep gagasan religius-historis, demikian pula dengan keserasian gerak, tema dan irama pengiringnya menampakkan nilai gagasan estetika yang adiluhung dengan nilai-nilai simbolik tertentu. Sistem gagasan secara eksplisit dapat pula dilihat dari berbagai hukum adat, norma-norma yang berkembang di dalam masyarakat dan norma sosial-budaya lain yang mungkin telah dialihkan dari tradisi oral menjadi tradisi lisan. Gagasan ini menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia mempunyai keberagaman pandangan dunia dan pengalaman hidup serta tradisi historis yang panjang.
Sistem sosial sebagai wujud kedua dapat diamati dari tradisi-tradisi yang masih dijalankan. Perilaku sosial tersebut dapat pula diuraikan secara visual maupun kandungan nilai-nilai simbolik yang ada di dalamnya. Wujud yang ketiga adalah kebudayaan materi, yaitu hasil kebudayaan dalam bentuk bendawi (artefaktual). Kebudayaan yang tangible ini adalah yang paling mudah dikenali dan ditemukan, meskipun mungkin sudah tidak utuh lagi.
Tiga wujud kebudayaan tadi jika kita hendak jabarkan lebih jauh lagi dapat diuraikan dengan tujuh unsur kebudayaan, yaitu: bahasa, sistem religi, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem sosial, sistem pengetahuan dan kesenian. Masing-masing dari ketujuh unsur tersebut dapat kita gambarkan satu persatu wujud sistem gagasan, sistem sosial dan kebudayaan materinya (Koentjaraningrat, 1992).
Pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebagai teks dan kebudayaan sebagai sistem simbol (Masinambow, 2002). Suatu hal yang penting adalah bahwa kebudayaan mengandung nilai-nilai (values) di dalamnya. Pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai sistem simbol justru memperkuat pemikiran bahwa nilai (value) di dalam kebudayaan materi itu sangat penting. Salah satu hal untuk mengetahui keragaman nilai tersebut adalah dari kelengkapan atribut yang melekat pada benda cagar budaya. Jika atribut tersebut hilang baik yang berupa atribut historis, konteks temuan maupun bentuk mengalami ketidaklengkapan data, maka kandungan nilai (value) juga menjadi tidak lengkap.  Nilai-nilai ini yang akan memberikan bobot kebudayaan tersebut dapat terus bertahan dan memiliki keunikan atau kekhasan tersendiri.
Sumber daya budaya sebagai wujud keintegralan hal-hal tersebut di atas tadi, kemudian berkedudukan sebagai salah satu aset yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Keberhargaannya kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, beserta peraturan turunannya sebagai pedoman pelaksanaan. Namun, keberhasilan melestarikan benda cagar budaya sebagai salah satu sumber daya budaya perlu suatu tekad nasional dari berbagai kalangan.
Pihak di luar pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya budaya ini salah satunya adalah pemilik benda cagar budaya itu sendiri. Jenis pemilik ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: individu dan kelompok. Pihak individu dalam hal penyimpanan koleksinya dapat berupa pribadi dan umum (galeri atau museum pribadi). Pihak kelompok dapat berbentuk kelompok lepas (sekumpulan pribadi yang mempunyai kesamaan minat), paguyuban, keluarga maupun yayasan. Keiinginan untuk  melestarikan tidak semua memilikinya, ada yang sangat peduli atau hanya sekedar menyimpan saja, bahkan ada pula yang memang hanya berniat berdagang barang-barang antik, pada kasus ini pemilik benda cagar budaya seringkali memanfaatkan benda cagar budaya sebagai sumber mata pencaharian dengan memburu dan memperjualbelikannya. Bahkan ada yang dengan sengaja merombak dengan tanpa mengikuti kaidah pemugaran benda cagar budaya yang berlaku atau merusak dengan sengaja karena dinilai tidak memberikan nilai ekonomis (Reilly & Rahtz, 1992).
Pengalihfungsian warisan sumber daya budaya seringkali berkaitan dengan kepentingan pihak tertentu. Beberapa kelompok kalangan sengaja tidak merubah fungsi karena berkaitan dengan usaha konservasi dan preservasi. Di sisi lain, terdapat kalangan yang sengaja mengalihkan fungsinya untuk kepentingan ekonomis (kepentingan pariwisata atau nilai ekonomis kebendaan) maupun untuk tujuan religiu, misalnya untuk penyelenggaraan upacara keagamaan maupun aliran kepercayaan tertentu (Kaplan & Manners, 1999).
UU No 5 tentang Benda Cagar Budaya sebagai upaya konservasi dan preservasi ini juga menjabarkan kewenangan pemerintah serta kewajiban dan hak para pemilik benda cagar budaya. Konsep “benda” di sini seharusnya selain berarti bendawi (tangible, yang dapat disentuh) juga mencakup yang tak bendawi (intangible, yang tak dapat disentuh). Sumber daya budaya intangible tersebut dapat dicontohkan misalnya: seni musik, seni tari, seni batik kemampuan membuat gamelan atau keris, resep pengobatan tradisional, tradisi leluhur dan lain sebagainya. Ini semua adalah warisan yang justru jika tidak dilindungi dan dilestarikan akan punah atau diakui oleh negara lain (misalnya seni batik dan musik daerah diakui milik Malaysia ataupun ketrampilan membuat tempe diakui Jepang). Untuk itu berikut ini akan diuraikan pasal-pasal yang membahas kewajiban dan hak para pemilik warisan sumber daya budaya.

 Kewajiban
Kewajiban adalah suatu tugas yang melekat padanya, artinya sesuatu yang harus dikerjakan. Keharusan ini bersifat mengikat, karena jika dilanggar atau tidak dikerjakan mengandung resiko. Resiko yang berkaitan dengan hukum adalah pemberian sanksi. Undang-Undang inipun telah mengatur hal tersebut.
Kewajiban para pemilik benda cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dapat diuraikan pasal-perpasal sebagaimana berikut:
Ø  Pasal 6, ayat 1
Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Memperhatikan fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pelestariannya.
Ø  Pasal 7, ayat 1
Pengalihan kepemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia secara turun-temurun atau karena pewarisan hanya dapat dilakukan oleh Negara.

Ø  Pasal 8, ayat 1
Setiap pemilikan, pengalihan hak dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasa16 dan 7 wajib didaftarkan.
Ø  Pasal 9
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, yang benda cagar budayanya hilang dan atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak diketahui hilang atau rusaknya benda cagar budaya tersebut.
Ø  Pasal 13, ayat 1
Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.
Ø  Pasal 13, ayat 2
Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah, keaslian bentuk dan pengamanannya.

PASAL
SUBSTANSI
URAIAN
1
2
3



Pasal 6, ayat 1


Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Memperhatikan fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pelestariannya.


Hak untuk dapat memiliki benda cagar budaya tetap diberi peluang oleh pemerintah, namun harus atau wajib memperhatikan fungsi sosial. Artinya, benda cagar budaya itu sebenarnya harus terbuka untuk publik karena pada dasarnya itu milik negara yang diperkenankan dikelola pihak swasta. Keterbukaan akan fungsi sosial ini terlebih pada pengembangan ilmu pengetahuan dan upaya konservasi

Pasal 7, ayat 1

Pengalihan kepemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia secara turun-temurun atau karena pewarisan hanya dapat dilakukan oleh Negara.


Artinya, pengalihan kepemilikan hanya boleh oleh negara. Proses transaksi jual beli bukan kepada pemerintah tidak diperbolehkan. Pemerintah akan memberi kompensasi nilai historis dan budaya bagi pemilik yang mengalihkan kepemilikannya pada pemerintah




Pasal 8, ayat 1


Setiap pemilikan, pengalihan hak dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasa16 dan 7 wajib didaftarkan.

Artinya, kepemilikan atas benda cagar budaya harus sepengetahuan pemerintah, yaitu didaftarkan dan dicatat dalam arsip pemerintah. Pemindahan tempat pada benda cagar budaya bergerak juga harus didaftarkan pada pemerintah, hal ini untuk melacak mobiltasnya



Pasal 9



Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, yang benda cagar budayanya hilang dan atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak diketahui hilang atau rusaknya benda cagar budaya tersebut.


Kehilangan maupun kerusakan wajib dilaporkan pemerintah, hal ini akan berkaitan dengan data dan usaha konservasi di kemudian hari. Data dari atribut sangat berguna untuk ilmu pengetahuan, sehingga kerusakan akan sangat berpengaruh pada kelengkapan data tersebut

Pasal 13, ayat 1

Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.


Kewajiban utama para pemilik adalah keikutseraan dalam usaha konservasi dan preservasi


Pasal 13, ayat 2


Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah, keaslian bentuk dan pengamanannya.


Artinya, pemilik dilarang mengubah, mengurangi maupun menambah nilai sejarah dan keaslian bentuk sehingga keaslian data untuk kepentingan konservasi dan preservasi. Kegiatan pengamanan harus tetap dijaga tanpa merusak bendanya



Hak
Hak merupakan perolehan yang melekat padanya. Artinya sesuatu yang dapat diperoleh. Perolehan ini bersifat kompensasi atas kewajiban yang dapat dan telah dijalankan.
Hak para pemilik benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang­Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah sebagaimana berikut:
Ø  Pasal 6, ayat 1
Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Memperhatikan fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pelestariannya.
Ø  Pasal 7, ayat 2
Pengalihan pemilikan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai pemberian imbalan yang wajar.
Ø  Pasal 19, ayat 1
Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentlngan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

PASAL
SUBSTANSI
URAIAN
1
2
3



Pasal 6, ayat 1


Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Memperhatikan fungsi sosial adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemilik. Fungsi ini dapat berupa pemanfaatan berbagai kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pelestariannya.


Pemerintah Indonesia memberikan hak untuk dapat memiliki benda cagar budaya, namun jika melihat UU ini maka hak tersebut hanya dimungkin kan karena faktor warisan, koleksi sebelum UU ini berlaku maupun hak pinjam kelola.

Pasal 7, ayat 2

Pengalihan pemilikan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai pemberian imbalan yang wajar.


Pemerintah akan memberi kompensasi nilai historis dan budaya bagi pemilik yang mengalihkan kepemilikannya pada pemerintah ataupun melaporkan temuannya. Kompensasi ini didasarkan pada nilai historis dan kewajaran untuk benda dengan bahan berharga, misal logam mulia




Pasal 19, ayat 1



Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentlngan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.


Artinya, pemilik diperbolehkan mengalihfungsikan warisan sumber daya budayanya untuk kepentingan tertentu tanpa melanggar kaidah-kaidah dalam konservasi dan preservasi



Kepemilikan Benda Cagar Budaya
Benda Cagar budaya yang kita jumpai sekarang, banyak dimiliki oleh  perseorangan maupun yayasan. Kepemilikan tersebut diperbolehkan Undang-­Undang namun dengan tugas dan ketentuan yang melekat padanya. Pelestarian merupakan tugas pokok dari para pemilik. Pelestarian ini dapat berupa pemeliharaan, perawatan dan menjaganya dari kerusakan.
Kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi setidaknya dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu kerusakan teknis, kerusakan fungsional dan kerusakan ekonomis (Cleere, 1984). Kerusakan teknis dapat disebabkan karena mudah lapuk atau rusaknya bahan pembuatnya dan kerusakan karena kurang keterawatan. Hal ini dapat terjadi pada benda-benda yang dibuat dari bahan yang tidak awet, misal kertas, kayu ataupun kain. Pada sumber daya budaya intangible dapat terjadi karena kurang atau punahnya komunitas pendukung kebudayaan tersebut.
Kerusakan fungsional dapat terjadi karena perubahan atau pemberian makna baru terhadap benda cagar budaya tersebut. Hal ini dapat juga berupa perubahan perlakuan seseorang atau kelompok karena kepentingan politis (contohnya adalah perombakan Candi Cetha di lereng Gunung Lawu yang dilakukan aliran kepercayaan tertentu demi rezim yang sedang berkuasa).
Sedangkan kerusakan ekonomis dapat terjadi karena proses jual beli dan perusakan benda cagar budaya karena dinilai tidak memberikan keuntungan ekonomis. Juga dapat berupa penambahan beberapa unsur tertentu pada benda cagar budayanya karena kepentingan ekonomis (seperti halnya yang terjadi pada Situs Sangiran yang dibangun menara pada zone terlarangnya / zone I).
Perlindungan (preservasi) adalah tugas lain dari pemilik benda cagar budaya. Perlindungan yang paling penting adalah dengan mematuhi Undang-Undang dan peraturan turunannya dengan benar. Kemudian dengan tetap menjaga nilai sejarah, keaslian serta nilai pengetahuannya (Cleere, 1989). Selain itu, adalah pengamanan benda cagar budaya itu sendiri, sehingga keberadaan dan keasliaannya tetap terjaga.
Hal penting lainnya adalah ikut pula menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut teruraikan sebagaimana berikut ini (Feiden,. & Jokilehto,  1983):
1.      Nilai estetis, merupakan nilai yang memuat potensi keindahan yang dapat berupa: gaya tradisional dari suatu produk pada suatu masa tertentu maupun gaya tradisional dari suatu kebudayaan serta nilai psikologis yang berkaitan dengan nilai estetis tersebut.
2.      Nilai simbolik dapat terlihat pada unsur pemaknaan berbagai bentuk kebendaan maupun konsep-konsep yang dikembangkan. Nilai simbolik ini dapat berupa: pengetahuan tradisional baik tentang teknologinya maupun konsep simbolik di dalamnya, konteks sejarah yang menyertainya, tradisi lisan ataupun foklore yang dapat dihubungkan dengan benda cagar budaya tersebut dan mungkin landskap bagi bangunan bersejarah.
3.      Nilai tradisional banyak sekali dapat kita gali dari benda cagar budaya tersebut. Hal ini dapat kita kaji dari berhagai bidang kajian seperti: Arkeologi, Sejarah, Antropologi, Arsitektur, Folklore, Filologi dan masih banyak lagi.
4.      Nilai ekonomis dapat dikaitkan dengan kegiatan pemanfaatannya.

Penutup
Kepedulian terhadap benda cagar budaya yang dimiliki baik oleh pemerintah dan utamanya milik pribadi, berarti merupakan potensi awal dalam upaya menuju tekad nasional melestarikan budaya bangsa. Sumber daya budaya merupakan modal bagi bangsa Indonesia untuk mengangkat derajatnya, terlebih lagi sekarang yang berada dalam kondisi terpuruk di mata internasional.
Kesungguhan dan tentunya dengan prosedur yang benar terhadap pelestarian benda bagar budaya merupakan nilai positif di mata dunia internasional yang ikut peduli dengan warisan budaya Indonesia yang kaya. Hal ini akan membantu memulihkan kepercayaan dunia internasional untuk mengembalikan beberapa aset sumber daya budaya khususnya bendawi yang sekarang tersebar di belahan dunia untuk dikembalikan dan dipelihara di Indonesia.
Penetapan Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya merupakan upaya pemerintah meletakkan pengaturan benda cagar budaya sebagaimana mestinya dengan tetap memperhatikan berbagai konvensi internasional. Kesuksesan penerapannya harus dilandasi dengan perencanaan sosialisasi dan konsistensi pemberlakuan hukum sehingga masyarakat akan memandang keseriusan pemerintah dalam menjalankannya. Peran dunia Perguruan Tinggi dalam membantu kelancaran pelaksanaan UU ini cukup besar, sumber daya manusia dalam bidang humaniora dapat dimanfaatkan dalam hal sosialisasi dan konsultasi kepakaran, utamanya bagi kepemilikan benda cagar budaya dan konflik-konflik yang berkaitan dengan materi historis dan nilai ilmu pengetahuan yang terkandung dalam benda cagar budaya tersebut.
Pemanfaatan sumber daya budaya dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dapat merujuk pada faktor emik dan etik (Poerwanto, 2000). Artinya, masyarakat dapat tetap menjaga dan melestarikan warisan sumber daya budayanya dengan mengikuti kaidah yang dianut oleh komunitasnya dan di sisi lain pihak akademisi dan pemerhati budaya dapat mempelajari dan melestarikannya dari segi akademis.
Kepemilikan benda cagar budaya yang masih memperoleh perijinan di Indonesia seharusnya disyukuri dengan jalan memperhatikan tugas-tugas yang harus dilakukan. Kesadaran tentang ketidakmampuan menanganinya sendiri dapat diatasi melalui kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi maupun ahli konservasi. Jika memang sudah tidak sanggup atau tidak berminat memelihara dan melestarikannya sendiri, maka alangkah bijaksana jika menitipkan atau menyerahkannya pada Negara dengan cara dihibahkan.


Daftar Rujukan
Cleere, H. 1984. Approaches to the Archaeological Heritage. (Ed). Cambridge: Cambridge University Press.
Cleere, H. 1989. Archaeological Heritage Management in the Modern World. (Ed). London: Unwin Hyman Ltd.
Feiden, B.M., & Jokilehto, J. 1983. Management Guidelines for World Heritage Sites. (Eds). Roma: ICCROM.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Repuhlik Indonesia tentang Benda Cagar Budaya. 1997. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kaplan, D., & Manners, A.A. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Masinambouw, E.K.M. 2002. Makna Sebagai Konsep Transdisiplin. Sebuah Pengantar. Dalam Semiotik: Kumpulan Makalah Seminar. Masinambow, E.K.M & Hidayat, R.S. (eds.). Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Poerwanto, H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reilly, P., & Rahtz, S. 1992. Archaeology and the information Age: A Global         Perspective. (Eds). London: Routledge.
Sedyawati, E. 2003. Warisan Budaya Intangible yang “Tersisa” dalam yang Tangible. Pidato Purnabakti. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.


* Deny Yudo Wahyudi adalah staf pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang dan dapat dihubungi melalui E-mail: deny_yudowahyudi@um.ac.id