Minggu, 16 Desember 2012

WARISAN MAJAPAHIT: MISTERI CANDI SUKUH DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN



WARISAN MAJAPAHIT:
MISTERI CANDI SUKUH DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Deny Yudo Wahyudi[1]


Tulisan ini berawal dari permintaan dewan editor majalah komunikasi UM sebagai alternatif wacana terhadap polemik karya pemikiran anak kami Rakai Hino, mahasiswa Jurusan Sejarah angkatan 2008 yang menjawab ajakan kami untuk berkarya dalam penulisan dan kajian ilmiah. Tema tulisannya adalah kebudayaan satanisme dalam karya Majapahit dalam hal ini candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu. Saya sebetulnya berharap justru polemik ini juga dijawab oleh mahasiswa sehingga mereka bisa saling memberi argumen, bertanggung jawab terhadap gagasan dan ide yang disampaikan dan yang terpenting menghargai paradigma berpikir sebagai salah satu kunci dalam tahapan metode sejarah maupun arkeologi, yaitu proses berinterpretasi (namun harus didukung data, fakta dan bukti temuan) yang pada akhirnya muncul sebagai generalisasi atau bahkan kalau mungkin bangunan sebuah teori baru[2].
Masa Majapahit dapat dianggap sebagai salah satu masa dalam periode Sejarah Indonesia Klasik (masa Hindu-Buddha) yang memberikan data dan informasi sangat berharga, terutama data penting itu berasal dari sumber data tekstual[3]. Sifat data dari sumber data tekstual bersifat informatif yang tingkatannya lebih tinggi dari interpretasi dari temuan artefaktual. Sumber data tekstual dari masa Majapahit memberikan informasi bukan hanya kejadian atau peristiwa sejarah tertentu tapi juga gambaran kehidupan masyarakat dari berbagai sisi kehidupan, salah satunya adalah kehidupan keagamaan. Informasi dari data tekstual ini kemudian dikonfirmasi dengan data artefaktual sehingga interpretasinya lebih valid dan dapat memberikan gambaran lebih lengkap karena terkadang kebudayaan itu unik (uniqly tidak selalu bersifat pola umum (pattern of culture).
Gambaran kehidupan masa majapahit dapat kita tangkap dari informasi sumber data tekstual yang didukung temuan artefaktual. Kehidupan keagamaan masa Majapahit tergambar bahwa paling tidak terdapat 4 agama resmi (dan diduga kuat Islam pun telah berkembang meskipun belum menjadi agama resmi). Keempat agama tersebut rsi-saiwa-sogata-mahabrahmana, Saiwa adalah agama Hindu yang memuja Siwa sebagai Kebenaran Tertingginya, aliran yang berkembang adalah Saiwa-Siddhanta, Mahabrahmana adalah aliran Hindu yang dikembangkan oleh para Brahmana, Sogata adalah para penganut agama Buddha dan Rsi adalah agama yang berkembang secara lebih besar khususnya pada masa Majapahit, meskipun bentuk aliran ini sudah berkembang lama karena seiring dengan konsep menjadi wanaprastha dan sanyasin dalan pandangan Hindu. Rsi dalam konsep agama Hindu mungkin dapat kita kenali dari dua sisi, yaitu para Rsi dalam mitos seperti Narada, Bhisma, dll dan rsi yang telah mencapai hidup wanaprastha dan sanyasin
Agama Rsi berkembang secara lebih luas pada masa Majapahit akhir dan tersebar pada areal “pinggiran” karena dalam konsepnya Rsi berkembang jauh dari kehidupan ramai sehingga “menyingkir” ke arah hutan, khususnya pegunungan, mereka lebih dikenal sebagai para rsi, para rakawi atau kawi[4]. Konsep cerita samudra mathana dimana siwaloka di puncak gunung mahameru (yang digambarkan di pegunungan himalaya) dipindahkan ke Jawadwipa memperkuat gambaran bahwa pada 7 gunung suci di Jawa bagian timur[5] terdapat tinggalan arkeologis berupa candi, punden berundak dan pertapaan para rsi.
Candi Sukuh terletak di salah satu gunung yang dianggap suci itu, yaitu tepatnya di lereng barat Gunung Lawu. Berdasarkan persebaran temuannya dugaan terkuat Candi Sukuh adalah candi para rsi[6] yang berfungsi dalam upacara matirtha dengan memuja lingga (perwujudan Siwa dalam bentuk phallus, simbol laki-laki) dan Bhima, tokoh yang menjadi panutan para rsi karena Bhima dianggap sebagai mediator manusia dengan Siwa pada masa Majapahit (akhir). Tugas Bhima tersebut tercermin dalam relief Bhimaswarga pada dinding candi Sukuh. Dalam cerita tersebut digambarkan Bhima mencari air amrta sebagai penebus kesalahan Pandu yang telah membunuh Brahmana. Konsep air suci ini universal dalam agama Hindu (dan yang lain), air dipandang penting dan sangat vital untuk melebur dosa, dan dianggap bahwa air amrta ini merupakan air keabadian[7].
Penggambaran candi Sukuh yang unik, eksotik dan tidak ada “duanya” dalam khazanah warisan budaya nusantara ini perlu disikapi dengan bijak, hati-hati dan didukung oleh data dan bukti temuan. Benarkah candi ini penggambaran dari aliran satanisme? Boleh jadi betul namun apa ada dukungan data dan interpretasi yang telah dibangun selama ini? Maka kita harus hati-hati. Justru Candi Sukuh dianggap suci oleh para kaum rsi, kaum yang telah mencapai hidup mengasingkan diri dari nafsu. Sekarang mengapa fenomena temuan justru menunjukkan pornografi, vulgar?, kita harus menempatkan dalam koridor ilmiah, apakah benar vulgar?.
Dalam konsep kebudayaan Hindu ada aliran Tantrayana-Buddhisme yang menempatkan Siwa dan Buddha dalam Kenyataan atau Kebenaran Tertingginya, jadi ada yang menyimpulkan sebagai sinkritisme atau bahkan pararellisme. Seksualitas hanya salah satu cara mencapai moksa, karena aliran ini mempunyai pandangan bahwa yang tidak diperkenakankan adalah justru jalan mencapai kesempurnaan, seringkali aliran ini disebut sebagai aliran “kiri”. Namun apakah pendukung Candi Sukuh beragama Tantris? Kita belum dapat menduga lebih jauh, namun banyaknya penggambaran lingga atau phallus ini sejalan dengan pemujaan lingga dalam aliran Saiwa Sidhanta, sedangkan penggambaran Bhima dengan penonjolan bentuk lingga ini justru mendukung gambaran Bhima sebagai mediator Siwa. Dan jangan lupa pemikiran air amrta dengan konsep air mani. Untuk itu benarkah para leluhur kita mengembangkan budaya satanisme? Apa justru tidak betapa luhurnya dan arif menyikapi kehidupan ini dengan makna-makna dan simbol-simbol religius, meskipun dapat pula aliran atau konsep yang tidak sama dengan konsesus kita juga mereka kembangkan. Selamat merenungkan, semoga menambah khasanah pwacana kita terhadap warisan budaya.



[1] Penulis adalah staf pengajar pada jurusan sejarah FIS-UM, mendalami arkeologi sejarah pada Universitas Indonesia
[2] Ini seperti halnya teori Thomas Kuhn tentang evolusi ilmu pengetahuan, yang pada intinya memberikan pemikiran bahwa sebuah ilmu dalam perkembangan teorinya terjadi dinamika, dimana teori lama akan digantikan teori baru yang dibangun atas temuan dan interpretasi yang baru, hal ini terutama berlaku untuk ilmu-ilmu sosial yang sifatnya dinamis dan kebenarannya bersifat relatif
[3] Sumber Data dalam arkeologi dapat berbentuk artefaktual (candi, arca, benda, dsb), tekstual (prasasti, naskah), dan etnografikal (perbandingan kehidupan masa lalu dengan suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kehidupan yang diduga sama dengan masa yang dikaji)
[4] Para kawi ini digambarkan berbusana kulit kayu sangat sederhana, tidak memakan daging, menjauhi perbuatan nista, hidup sangat sederhana dan melakukan tapa atau puja dalam (puja yang memusatkan pikiran tanpa memerlukan media). Coba bandingkan dengan temuan arca di situs yang diduga peninggalan para rsi.
[5] Gunung-gunung tersebut adalah Lawu, Wilis, Kampud (Kelud), Brahma, Kawi, Arjuna, Meru dan yang paling utama adalah Pawitra (Penanggungan).
[6] Candi para rsi ini bisa jadi merupakan wanasrama yang terletak di hutan dan ini di luar yang dikelola oleh para pejabat raja yang mengurusi karesyan yaitu para mantri her haji
[7] Dalam berbagai konsep agama, air sangat penting dan utama membersihkan dosa, kotor dan biasanya dipakai untuk mensucikan diri. Untuk konsep air amrta sebagai air keabadian terdapat pemikiran bahwa air mani (sperma, semen) dapat dipandang sebagai air kehidupan, air keabadian, karena dipandang merupakan zat yang berguna dalam proses reproduksi, dan hasil reproduksi adalah anak, berarti manusia ada penerusnya. Konsep air mani dan hal yang berhubungan dengan seksualitas tercermin pada artefak di candi Sukuh, namun kita harus menempatkan pada konteks pemahaman agama yang melatarinya.

PELESTARIAN WARISAN BUDAYA: Studi Kasus pada Keraton Surakarta



PELESTARIAN WARISAN BUDAYA:
Studi Kasus pada Keraton Surakarta

Deny Yudo Wahyudi


Latar Belakang Pemikiran
Pertumbuhan dan perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia secara kronologis amatlah panjang dan bervariasi. Kronologis tersebut diawali sejak jaman prasejarah hingga masa sekarang yang pembabakannya tetap berkaitan antar periodenya. Sejarah kebudayaan Indonesia yang panjang ini tentunya meninggalkan warisan budaya yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Jenis-jenis kebudayaan tersebut dapat dibedakan dalam bentuk yang tangible (bendawi) dan intangible (non bendawi) (Sedyawati, 2003), dimana warisan budaya yang tangible dapat dibagi lagi ke dalam kategori benda bergerak (moving) dan tidak bergerak (monument). Kondisi peninggalan-peninggalan budaya tersebut banyak yang berada dalam keadaan rusak dan bahkan ada yang hanya tinggal puing-puingnya saja, namun ada juga yang masih terawat hingga kini. Dari segi ketergunaannya, beberapa warisan budaya tersebut terutama yang bentuk monumen masih berada dalam kondisi terpakai (living monument) dan beberapa yang lain berstatus hanya monumen belaka (death monument). Monumen-monumen ini beberapa di antaranya dapat dikategorikan ke dalam warisan nasional. Bahkan, beberapa di antaranya berstatus warisan dunia yang harus dilestarikan, seperti: Candi Borobudur dan Candi Prambanan, selain itu beberapa lagi layak dijadikan warisan dunia, seperti: Situs Sangiran di Jawa Tengah dan bentang alam Tanah Toraja di Sulawesi Selatan. Sumber daya budaya yang dapat dijadikan warisan nasional ini akan membawa implikasi positif pemeliharaan dan perlindungan di dalam pelestariaannya.
Salah satu warisan sumber daya budaya dalam bentuk monument yang patut dijadikan warisan nasional adalah Keraton Surakarta Hadiningrat, yang berada di kota Surakarta (Solo) Jawa Tengah. Keraton Surakarta dibagi ke dalam tiga bagian wilayah, wilayah-wilayah ini masing-masing dipisahkan dengan dinding tebal yang melingkar dan dikenal sebagai benteng. Wilayah I (inti) adalah keraton itu sendiri, berada di bagian paling tengah (pusat). Daerah ini adalah tempat tinggal raja, permaisuri, istri-istri selir dan putra-putrinya yang belum dewasa. Wilayah II (baluwerti/jero benteng) adalah tempat tinggal para bangsawan tinggi keluarga raja dan para pembantu (abdi dalem) raja. Wilayah III (luar) adalah daerah alun-alun utara dan selatan yang terdapat beberapa bangunan penunjang. Keseluruhan kompleks ini berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 350.000 m2 (Soeratman, 2000).
Keraton Surakarta berdiri 1746 pada masa pemerintahan Raja Paku Buwana II sebagai penerus tahta Mataram dari dinasti Panembahan Senopati yang berkedudukan di Kotagede. Keraton Surakarta adalah keraton yang ke lima dari wangsa Mataram Islam. Keempat keraton sebelumnya, yaitu: Kotagede, Karta, Plered dan Kartasura, dimana keempatnya kini tinggal puing-puing saja (Adrisijanti, 2001). Tahun 1755 ketika terjadi Perjanjian Giyanti berimplikasi terhadap kemunculan Keraton Yogyakarta sebagai pecahan Kerajaan Mataram. Selanjutnya, pada tahun 1757 Surakarta dibagi lagi menjadi dua kerajaan dengan kemunculan sebuah Kadipaten yang berkedudukan setengah kerajaan, yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Sedangkan pada tahun 1811, daerah Yogyakarta juga dibagi menjadi dua dengan kemunculan Kadipaten Pakualaman.
Keraton Surakarta sebagai keraton tertua di antara empat keraton ini, memang layak untuk dijadikan warisan nasional. Hal ini, karena salah satu kriteria pelestarian warisan nasional adalah usianya yang tertua. Selain itu, sumber daya budaya yang terkandung di dalam keraton baik tangible maupun intangible sangatlah banyak dan berpotensi untuk dikembangkan.
Keletakannya yang berada di jalur utama pariwisata Indonesia juga sangat mendukung. Poros Yogyakarta-Bromo-Bali merupakan jalur utama pariwisata Indonesia, sehingga paket wisata Yogya-Solo secara mikro saja tentu sudah menguntungkan. Balikan dari pengembangan wisata budaya ini dapat menjadi dasar dalam manajemen sumber daya budaya, karena secara profit maupun pengembalian biaya perawatan sudah dapat terpenuhi.
Sumber daya ilmu pengetahuan juga terdapat pada Keraton Surakarta. Kebudayaan yang tersimpan di dalamnya dapat membantu kita, baik secara akademis maupun non akademis sebagai upaya membangun kerangka pikir sumber Kebudayaan Nasional. Kajian-kajian arkeologis, antropologis, sejarah, sosiologis, hukum, kesenian, arsitektur, tehnik sipil, filsafat, psikologis, administrasi, susastra, linguistik, perpustakaan, kriminologi, astronomi, kimiawi, biologi, fisika dan sebagainya dapat digali dari sumber daya yang tersimpan di dalam Keraton Surakarta.
Ketertarikan masyarakat baik dalam dan luar negeri juga merupakan modal bagi pelestarian Keraton Surakarta. Masyarakat khususnya domestik, telah menjadikan Surakarta utamanya Keraton Surakarta sebagai kota dan tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi. Penetapan warisan nasional mungkin akan membawa masyarakat menjadikannya sebagai tempat yang wajib dikunjungi, seperti halnya Borobudur dan Bali. Masyarakat akademis baik dalam maupun luar negeri banyak pula melakukan kajian-kajian tentang berbagai hal mengenai Keraton Surakarta. Master dan Doktor telah banyak dihasilkan dari kajian tentang Keraton Surakarta, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian dari potensi yang ada.
Berdasarkan pemikiran inilah maka amatlah layak apabila Keraton Surakarta dijadikan warisan nasional. Bukan hanya bangunan dan benda fisiknya saja yang terpelihara namun hal yang lebih penting adalah terselamatkannya hal-hal yang intangible seperti kesenian dan ritual-ritual tradisi yang adiluhung.
Kriteria Pengembangan sebagai Warisan Nasional
Kriteria pengembangan sebagai warisan nasional dibuat berdasarkan atas panduan yang dianut oleh UNESCO terhadap segala bentuk warisan dunia. Kriteria-kriteria ini akan memandu bagian-bagian mana saja dari Keraton Surakarta yang mempunyai variabel nilai sehingga akhimya dianggap layak untuk dijadikan warisan nasional. Variabel nilai yang digunakan oleh UNESCO merupakan standar baku yang digunakan untuk menetapkan suatu sumber daya budaya akan dijadikan sebagai warisan dunia. Namun, untuk menentukan warisan nasional alangkah baiknya pula jika kita menggunakan standar UNESCO, sehingga standar yang digunakan berkriteria internasional.
Sebelumnya perIu dikemukakan terlebih dahulu definisi suatu sumber daya budaya, dimana menurut UNESCO (Feilden dan Jokilehto, 1993) definisi tersebut berkaitan dengan dengan 3 bentuk sumber daya budaya, sebagaimana berikut: (1) monumen, yaitu semua karya arsitektur, ukiran, lukisan, relief, inskripsi, hunian gua, hunian di alam yang bernilai sejarah, seni dan ilmu; (2) kelompok bangunan baik terkait maupun terpisah; dan (3) situs, yaitu hasil kegiatan manusia di alam yang bernilai secara sejarah, etnologis, antropologis dan arkeologis. Berdasarkan definisi tersebut, maka Keraton Surakarta telah memenuhi 3 bentuk definisi UNESCO. Hal ini karena Keraton Surakarta telah memenuhi definisi sebagai monumen baik secara arsitektural, dan di dalamnya terdapat benda cagar budaya baik yang tangible maupun intangible sebagai kelompok bangunan. Selain itu, juga memenuhi definisi sebagai situs yang bernilai sejarah, etnologis, antropologis dan arkeologis.
Setelah menentukan definisi tersebut, maka selanjutnya adalah menentukan kriteria-­kriteria baku sehingga Keraton Surakarta layak dijadikan warisan nasional sumber daya budaya. Adapun variabel nilai kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Kriteria Nilai Kesejarahan
Dalam hal ini, memenuhi kiteria utamanya yang menyangkut daya penciptaan, pembuatan dan selanjutnya pemakaiannya. Keraton Surakarta telah dibuat di masa lalu (usianya 262 tahun), bangunan secara keseluruhan (baik bangunan awal maupun penambahan-penambahan) tersebut masih terwariskan  dan tetap digunakan atau dipelihara sejak penciptaannnya hingga sekarang. Berdasarkan prinsip otentisitas maka keaslian materi dan rancangannya telah sesuai dengan jiwa jamannya (zeigeist)
Kriteria Nilai Identitas
Keraton Surakarta merupakan keraton peninggalan perpecahan Mataram yang usianya paling tua, tradisi dan keberlanjutannya dari keraton sebelumnya tetap terpelihara. Hal ini terlihat dari pemilihan pihak Keraton Surakarta untuk tetap menjaga, meneruskan dan mengembangkan tradisi Mataram, sedangkan pihak Keraton Yogyakarta mengembangkan gayanya sendiri. Di samping itu, Keraton Surakarta juga memuat berbagai nilai simbolik dan nilai spiritual dari keberadaan bangunan maupun budaya yang dikembangkan. Hal ini sesuai dengan filosofi yang dikembangkan sejak jaman Hindu-Buddha hingga filosofi yang telah dipengaruhi Islam.
Kriteria Nilai Teknis dan Seni
Berbagai kajian tentang Keraton Surakarta menunjukan keunikan nilai teknis dan seni pada bangunan, baik  arsitektural, tehnis pengerjaan maupun konsep fungsinya. Keraton Surakarta memuat pula kriteria nilai teknis dan seni ini pada kebudayaan intangible yang ada di dalamnya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada penciptaan seni tari, batik, maupun keris.  Kriteria Nilai Kelangkaan
Keraton Surakarta dari segi usia merupakan keraton tertua dari 4 keraton perpecahan mataram. Bangunan cagar budaya tersisa yang berupa istana hanya sedikit di Nusantara, lebih sedikit lagi di Jawa. Keraton Surakarta memuat keunikan dibandingkan tiga keraton lain dari kelompok wangsa Mataram baik dalam segi arsitektural, ornamentasi maupun filosofinya.
Kriteria Nilai Ekonomis
Keraton Surakarta memuat nilai ekonomis karena sebagai benda cagar budaya dia merupakan aset budaya. Pelestariannya akan membawa dampak nilai ekonomis tedebih dari sektor pariwisata. Keraton Surakarta memiliki nilai ekonomis lebih jika dilakukan preservasi, baik kandungan nilai ekonomis ditinjau dari segi kebudayaan (utamanya seni) maupun dari segi keilmuan (hak cipta dan data-data ilmiah). Pengembangan dari preservasi ini akan membawa dampak ekonomis bagi berbagai pihak, yaitu: pemerintah akan mendapat keuntungan dari segi pengembangan pariwisata, pihak industri wisata, pihak masyarakat sekitar maupun pihak keraton sendiri.
Kriteria Nilai Fungsional
Keraton Surakarta dilihat secara fungsional adalah situs berkelanjutan atau monumen hidup (living monumen). Berdasarkan potensi pariwisata maka ada beberapa bangunan yang diberikan nilai fungsional tambahan, hal ini seperti terjadi pada gudang kereta sekarang yang bertambah nilai menjadi museum kereta kuda.
Kriteria Nilai Pendidikan
Keraton Surakarta memiliki aset nilai pendidikan yang termuat dalam bentuk kebudayaan yang tangible maupun intangible. Hal ini diharapkan dapat memupuk kesadaran masyarakat mengenai kesadaran sejarah dan budaya yang tekandung di dalamnya.
Kriteria Nilai Sosial
Keraton Surakarta memiliki berbagai tradisi sosial budaya yang masih berlanjut hingga sekarang sehingga dapat memberikan  nilai identitas bagi masyarakat Indonesia utamanya bagi orang Jawa. Kandungan budaya di dalamnya dapat dijadikan modal pengembangan berbagai bentuk ritual yang berkembang di masyarakat.
Kriteria Nilai Politik
Berdirinya Keraton Surakarta merupakan rangkaian panjang peristiwa sejarah nasional maupun lokal. Sejarah Keraton Surakarta sejak berdiri hingga sekarang akan menggugah ingatan kita akan sejarah perpecahan Mataram, perkembangan seni tari, musik, wayang, jaman barokisasi kesenian Jawa, perang Diponegoro dan lain-lain. Hal ini akan memperlihatkan bahwa keberadaan cagar budaya ini memuat berbagai kandungan nilai kesejarahan maupun perjalanan politis.
 Demikianlah 9 kriteia yang akan semakin memantapkan Keraton Surakarta layak dijadikan warisan nasional sumber daya budaya.

Pembenahan Lingkungan Situs Keraton Surakarta
Pembenahan merupakan tindakan yang akan dilakukan dalam poses konservasi dan preservasi nantinya. Proses konservasi ini dapat berupa konservasi teknis maupun fungsi. Jika mengacu pada pembenahan maka kita harus berpijak terlebih dahulu dari kerusakan-kerusakan yang telah terjadi dan masih terus berlangsung hingga kini. Kerusakan ini dapat dikategorikan ke dalam 3 aspek, yaitu kerusakan secara teknis, kerusakan secara fungsional dan kerusakan karena faktor politis-ekonomis (Cleere, 1989). Adapun rincian kerusakan-kerusakan tersebut adalah sebagai berikut:
Kerusakan Teknis
a.     Kerusakan teknis terjadi pada bahan yang telah tua usianya. Utamanya bahan yang mudah lapuk atau rusak seperti, kayu, kain, logam, dan lain-lain.
b.     Kerusakan teknis dapat pula terjadi karena kurangnya perawatan. Hal ini seperti terjadi pada dinding-dinding keraton yang mulai ditumbuhi lumut, pengkaratan pada benda-benda yang terbuat dari logam, rusaknya koleksi lukisan dan kain-kain tradisional, maupun kerusakan pada koleksi kereta istana.
c.      Kerusakan teknis juga terjadi pada benda susastra / naskah-naskah yang terdapat di keraton. Hal ini karena usianya yang sudah tua, kekurangtahuan teknis perawatan maupun minimnya dana perawatan.
d.     Kerusakan teknis dapat pula terjadi pada benda intangible, misalnya tari-tarian bedaya tidak dapat berkembang karena faktor teknik yang rumit dan pengembangannya sulit karena terbatasi tata cara (pakem),  faktor mitos dan terbatasnya sumber daya manusia.
Kerusakan Fungsional
a.     Kerusakan fungsional terjadi dengan variasi non fungsional (tidak lagi berfungsi, berubah fungsi dan pemberian makna baru atau penambahan fungsi.
b.     Dalam lingkup lingkungan utama, beberapa bangunan telah kehilangan fungsinya dengan faktor yang berbeda pula seperti:
·  Sasana Handrawinya (ruang makan) rusak akibat kebakaran, namun sekarang telah dibangun kembali.
·  Keputren tidak lagi banyak ditempati, karena para penghuninya telah mulai habis.
·  Kori Magangan karena rusak berat.
c.      Ada pula yang berubah fungsi seperti:
·  Kadipaten (tempat tinggal putra mahkota) berubah fungsi menjadi museum.
·  Bangsal Pacekotan berubah menjadi kantor wisata keraton.
d.     Sedangkan yang bertambah fungsi seperti gudang kereta menjadi museum kereta.
e.      Pada beberapa bangunan pendukung telah terjadi pula penghilangan fungsi, seperti alun-alun selatan dan sitihinggil selatan yang tidak lagi difungsikan.
f.       Adapula yang berubah fungsi seperti rumah bangsawan (Dalem Sidusenan) menjadi kantor sebuah badan dalam tubuh TNI.
g.     Sedangkan pemberian fungsi baru terjadi pada perkampungan di jero benteng yang seharusnya ditempai tanpa boleh memiliki (hak guna pakai atau pinjam) bagi punggawa/karyawan istana telah berubah menjadi hak guna milik dan menjadi pemukiman umum tanpa mengindahkan kaidah keseragaman dan keaslian lingkungan.
Kerusakan politis-ekonomis
a.     Kerusakan ini terjadi karena faktor politis dan ekonomis. Perubahan yang terjadi maupun pengembalian bentuk dan fungsi juga akan terbentur masalah politis dan ekonomis.
b.     Contohnya pada bangunan masjid agung yang telah menjadi milik publik (umat) maupun perubahan yang terjadi pada  kompleks bangunan pendapa di alun-alun utara yang sekarang menjadi gedung modem sebuah bank swasta nasional berlantai empat.
Demikianlah kerusakan-kerusakan ini akan menjadi dasar untuk dilakukan pembenahan-pembenahan selanjutnya sehingga lingkungan cagar budaya akan terlihat keaslian dan keotentikannya. Pengembangan ini juga akan membantu di dalam melakukan pemintakatan dan pembagian daerah-daerah yang akan dijadikan wilayah inti cagar budaya, wilayah penunjang dan wilayah pengembangan.

Nilai-Nilai Sumber Daya Budaya
Nilai-nilai sumber daya budaya merupakan unsur-unsur intangible yang terkandung di dalam benda tangible (Sedyawati, 2003). Adapun nilai-nilai tersebut adalah:
Nilai Estetika
Nilai estetika merupakan salah satu nilai sumber daya budaya yang terkandung dalam lingkungan Keraton Surakarta. Nilai ini memuat potensi "keindahan" baik dalam bentuk abstrak maupun kongkrit. Penjabarannya terdapat dalam 3 aspek, yaitu gaya tradisional, psikologi dan nilai seni.
Gaya Tradisonal
·  Gaya tradisional yang terdapat dalam budaya tangible (bendawi/tersentuh) dapat berupa:
a.     gaya tradisional arsitektural rumah Jawa dengan semua variasinya, yaitu: pendhapa agung, limasan dan kampung. Juga dalambentuk penempatan tiang-tiang penyangga, seperti: semar tinandhu, klabang nyander, dan lain-lain.
b.     Gaya tradisional ornamentasi yang terdapat pada ukiran kayu (tiang, daun jendela dan pintu maupun benda-benda meubeler).
c.      Gaya tradisional benda-benda lain, seperti: gamelan, kain batik, senjata, kereta, peralatan rumah tangga, dan lain-lain.
d.     Gaya tradisional yang terdapat dalam budaya intangible (tak benda/abstrak) dapat berupa: gaya tradisional pada tarian, seni musik, seni sastra yang khas; gaya tradisional pada mitologi, konsep-konsep, keyakinan dan adat istiadat atau norma-norma; maupun gaya tradisional pada ritual-ritual yang terus berlangsung.
Psikologi
·  Nilai psikologis yang berkaitan dengan nilai estetis, salah satunya adalah konsep keindahan, sehingga terwujud dalam arsitektur, ornamentasi, seni musik, tari, dan lain-lain.
·  Nilai psikologis lain adalah dengan timbulnya rasa indah (secara psikologis) setelah menyaksikan hasil budaya berupa Keraton Surakarta beserta isinya.
Nilai Seni
·  Nilai seni yang terkandung dalam arsitektur dan omamentasi memancarkan nilai estetika yang tinggi.
·  Nilai seni juga terkandung pada kesenian yang dikembangkan di lingkungan Keraton Surakarta, seperti: tarian, musik, wayang, membatik, dan lain-lain. Hal ini lebih terkait pada proses penerapannya.
Nilai Simbolik
Nilai simbolik dapat terlihat pada unsur pemaknaan berbagai bentuk kebendaan maupun konsep-konsep yang dikembangkan. Selain itu nilai sejarah yang mendukungnya akan menambah nilai magis-simbolis bagi Keraton Surakarta. Adapun nilai simbolik dapat ditemui dari berbagai aspek seperti berikut ini:
Pengetahuan Tradisional
·  Pengetahuan tradisional akan banyak sekali ditemukan di Keraton Surakarta. Salah satunya adalah kemampuan mereka  dalam membangun kompleks keraton yang besar dan rumit. Dalam hal ini, berarti mereka paling tidak telah menguasai ilmu bangunan, pertukangan dan ilmu tanah (menurut legenda, tanahnya dahulu berupa rawa-rawa).
·  Selain itu juga ditemukan kemampuan tentang astronomi, pengobatan, pembuatan alat, pekerjaan tangan.
·  Pengetahuan tentang kesenian (tari, musik, sastra).
Sejarah
·  Dalam bidang sejarah, mereka memiliki bahan-bahan pustaka yang dapat membantu kita menggali sejarah masa lalu. Mereka menamakan kisah sejarahnya dalam buku yang disebut: babad, serat dan catetan.
Tradisi Lisan
·  Tradisi lisan juga bisa ditemukan dengan banyak sekali diciptakannya kisah-kisah atau nasehat dalam bentuk lagu (kidung, tembang, suluk),
·  Selain itu kisah-kisahnya tetap mereka jaga dengan gaya cerita (dongeng)
Folklore
·  Jenis folklore juga banyak ditemukan di Keraton Surakarta, seperti hal-hal yang sebenamya telah masuk di tradisi lisan, seperti: nyanyian, cerita dan legenda.
·  Selain itu beberapa hal lain dari folklore yang dapat ditemukan, seperti: permainan rakyat, tarian, seni sastra dan lain-lain.
Mitologi
·  Banyak sekali mitologi yang dapat ditemukan di Keraton Surakarta, salah satunya adalah adalah mitos Ratu Pembayun dan Sunan Paku Buwono X.
·  Paling terkenal adalah mitos Ratu Selatan, Sunan Lawu, Bathari Durga dan Eyang Merapi yang menjaga Keraton Surakarta dan wilayah kerajaan dari 4 penjuru mata angin
·  Selain itu mitos-mitos lain sering diciptakan untuk menjadi pendamping benda­benda yang disakralkan.
Landskap
·  Kompleks bangunan Keraton Surakarta sendiri secara arsitektural maupun layout dibungkus dengan simbol-simbol yang amat kental.
Nilai Tradisional
Keraton Surakarta secara informasional sangatlah berpotensi. Banyak informasi yang akan didapat dan diteliti. Bidang kajian arkeologi, sejarah, antropologi, arsitektur, folklore dan filologi dapat ditelusuri dan dikembangkan dari Keraton Surakarta. Sejarahnya yang panjang dengan kehidupannya yang kompleks akan semakin memperkaya hal tersebut. Arkeologi
·  Dalam bidang arkeologi akan ditemukan banyak sekali bahan-bahan artefaktual yang dapat diteliti.
·  Sosiofak dan idiofak pun akan banyak sekali ditemukan di Keraton Surakarta.
Sejarah
·  Informasi yang didapat dari penulisan sejarah seperti: babad, serat dan catetan akan membantu merekonstruksi sejarah masa lalu.
·  Selain itu juga dapat pula dibantu dari informasi tradisi lisan yang masih terpelihara.
Antropologi
·  Banyak hal yang didapat dari Keraton Surakarta mengenai bidang antropologi. Salah satunya tentang sistem budaya dan sistem nilai yang terkandung di dalamnya.
·  Selain itu dari bidang kesenian yang amat kaya akan berlimpah-limpah didapatkan informasi berharga.
Arsitektur
·  Arsitektural yang khas dari Keraton Surakarta merupakan studi unik tersendiri.
·  Gabungan gaya arsitektural tradisional (Jawa) dan modem (kolonial) dibungkus dalam nafas konsep tradisional Jawa dan religius (Hindu, Buddha dan Islam).
·  Teknik-teknik arsitektural tradisional dan modem pada masanya juga merupakan informasi penting yang kita bisa gali dari Keraton Surakarta.
Folklore
·  Berbagai jenis folklore seperti nyanyian, puisi, permainan rakyat, tarian, dan lain-lain juga bisa kita dapatkan.
·  Pertukaran berbagai folklore dari luar ke dalam lingkup keraton maupun sebaliknya merupakan informasi penting untuk studi ini.
Filologi
·  Kekayaan dunia sastra di Keraton Surakarta merupakan surga bagi studi perkembangan filologi, tidak hanya Jawa namun juga yang lain.
Nilai Ekonomis
Nilai ekonomis lebih dekat dengan faktor pelaksanaan konservasi dan preservasi maupun pengembangannya nanti. Nilai ekonomis tidak hanya berguna untuk pihak benda cagar budaya saja namun juga berguna bagi pemerintah maupun masyarakat utamanya masyarakat sekitar. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:
Faktor Pasar
·  Keberadaan Keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya yang hendak dikonservasi tentunya secara ekonomis harus terdukung sehingga pelaksanaan konservasi bisa terus berjalan dan tidak membebani anggaran yang lain.
·  Pengembangan sektor ekonomi dari informasional juga sangat mendukung, seperti: penjualan data-data informasi dalam bentuk penerbitan seri sastra keraton, peng-CD-an tarian dan ritual yang masih berkembang maupun kompleks keraton itu sendiri.
·  Selain itu sektor pariwisata juga potensial untuk dikembangkan. Namun jangan sampai merusak keontetikan informasi dan sumber daya Keraton Surakarta.
Potensi Ekonomi
·  Sejalan dengan faktor pasar,  maka pengembangan Keraton' Surakarta sebagai daerah cagar budaya akan memberikan pemasukan langsung maupun tidak langsung bagi pemerintah. Pemasukan langsung bisa didapat dari devisa pariwisata. Sedangkan pemasukan tidak langsung dapat diperoleh dari peningkatan perkembangan perekonomian daerah dan nilai kekayaan intelektualnya.
Biaya pengembangan
·  Timbal balik seperti yang diungkapkan sebelumnya jelas sekali dapat membantu biaya konservasi dan preservasi.
·  Potensi ekonomis akan membantu biaya-biaya konservasi dan operasionalnya yang tinggi sehingga beban anggaran tidak terjadi.
Keuntungan Pemberdayaan Masyarakat
·  Pengembangan lingkungan Keraton Surakarta sebagai daerah cagar budaya akan membantu seeara langsung masyarakat sekitar. Pembukaan stan rakyat dan pelibatan mereka dalam konservasi dan preservasi merupakan nilai ekonomis yang nyata.
·  Perkembangan pariwisata akan membantu anggaran daerah sehingga alokasinya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat juga akan semakin besar.

Pengembangan Lingkungan Situs Keraton Surakarta
Pengembangan situs Keraton Surakarta perlu pula melihat potensi-potensi yang dimiliki dan keterkaitan dengan pihak lain. Berdasarkan potensi inilah selanjutnya dibuat program perencanaan pengembangannya.
Potensi-Potensi Keraton Surakarta
Potensi-potensi yang dimiliki Keraton Surakarta sangatlah banyak seperti halnya yang telah dikemukakan di atas. Potensi-potensi ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu dari dalam (intrinsik), di sini menyangkut sumber daya budaya yang dimiliki oleh Keraton Surakarta. Kedua adalah aspek dari luar (ekstrinsik), membicarakan potensi lingkungan yang mendukung Keraton Surakarta sebagai sumber daya budaya yang patut dilestarikan dan dilindungi. Potensi-potensi ini sangat berguna untuk pengembangan selanjutnya (Cleere, 1984). Adapun potensi-potensi tersebut adalah sebagai berikut:
Potensi Intrinsik
Potensi Budaya
·  Potensi budaya jika mengacu pada 3 wujud kebudayaan maka dari wujud yang pertama adalah potensi ideologis. Di sini berarti hal-hal seperti konsep~konsep, keyakinan, adat-istiadat, mitologi, maupun norma merupakan potensi yang dimiliki dan dapat dikembangkan.
·  Potensi budaya yang kedua adalah potensi sistem sosial yang mengacu pada sistem perilaku berpola. Di sini berarti hal-hal seperti proses ritual dari berbagai aspek, pola interaksi antar penghuni keraton, dan lain-lain juga dapat dikembangkan.
·  Potensi budaya yang terakhir adalah segala hasil kebudayaan materi, seperti: tarian, arsitektur, musik, wayang, senjata tradisional, kain, omamentasi, dan lain-lain.
Potensi Ekonomis
·  Potensi ekonomi yang pertama adalah komersialisasi hak cipta intelektual yang dimiliki Keraton Surakarta.
·  Potensi ekonomis yang kedua adalah pemasukan dari penyelenggaraan kursus­-kursus mengenai sumber daya budaya, seperti: kursus tari, musik, batik, dan lain-lain.
Potensi Ekstrinsik
Potensi Sosial
·  Masyarakat sekitar yang sebagian besar masih memegang teguh adat istiadat keraton merupakan potensi dilakukannya konservasi maupun studi sosiologis.
·  Selain itu kegiatan perekonomian tradisional di sekitar keraton yang masih menampakan ciri khas struktur perkotaan lama Surakarta merupakan potensi pengembangan wisata.
Potensi Pariwisata
·  Keraton Surakarta sangat berpotensi menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan.
·  Keaneka-ragaman sumber daya budaya merupakan potensi bagi pengembangan wisata.
·  Keraton Surakarta dan lingkungan sekitamya dapat membantu pengembangan kota Surakarta sebagai kota wisata dengan multi potensi wisata.
Potensi Geografis dan Prasarana
·  Kota Solo terletak dalam poros wisata Yogya-Bromo-Bali, sehingga potensial sebagai kota kunjungan wisata.
·  Persebaran budaya dan bangunan-bangunan bersejarah di sekitar Solo-Yogya­Semarang berpotensi untuk dijadikan daerah-daerah konservasi.
·  Solo yang merupakan kota transit dengan prasarana perhubungan (terminal, setasiun, bandara) yang lengkap dan ramai serta penginapan yang memadai menunjang sebagai kota tujuan wisata yang potensial.

Keterlibatan Pihak-Pihak Terkait
Keterlibatan pihak lain sangat menunjang proses konservasi dan preservasi, karena benda cagar budaya terkait dengan berbagai sistem yang berkembang maupun pihak-pihak lain yang berkompeten dan berkepentingan. Proses interaksi timbal-balik sangat membantu untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan yang berguna untuk pengembangan lebih lanjut (Darmaputra, 2002)
Pemerintah Pusat
·  Pemerintah pusat berwenang untuk menentukan kebijakan konservasi yang baku dan standar bagi Keraton Surakarta. Kebijakan konservasi ini disertai pula dengan penjabarannya dalam bentuk program dan proyek. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam pelaksanaannya.
·  Selain itu, konservasi dan preservasi perlu dilandasi ketentuan legal-formal dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pemerintah, sehingga arah dan pelaksanaan konservasi-preservasi tidak melenceng.
Pemerintah Daerah
·  Pemerintah daerah merupakan pelaksanan kebijakan konservasi dan preservasi dengan menyediakan anggaran, tenaga, sarana dan prasarana yang mendukung
·  Anggaran ini disesuaikan dengan kemampuan daerah dengan memperhatikan pemasukan langsung maupun tidak langsung.
Pihak Institusi Pendidikan (Universitas)
·  Institusi pendidikan baik di Solo maupun kota-kota lain yang menaruh perhatian perlu membantu dengan memberi masukan pemikiran untuk konservasi-preservasi dan pengembangan Keraton Surakarta.
·  Hasil-hasil riset perlu disebarluaskan sehingga menjadi promosi dan kekayaan intelektual bagi dunia ilmu pengetahuan.
·  Pihak institusi pendidikan ini perlu juga mendirikan pusat studi Keraton Solo. Hal ini utamanya untuk universitas yang sangat menaruh perhatian, seperti: UI, IKJ, UGM, UNS, STST Solo, ISI Yogya, Univ. Leiden, Univ. Amsterdam, Univ. London, Univ. Cambridge, Univ. Oxford, Univ. Sourbone, Univ. Paris, Univ Monash, ANU, Univ. Hawaii at Manoa, Univ. California at Berkeley, UCLA, Univ. Harvard, Univ. Cornell, dan lain-lain.
Masyarakat
·  Masyarakat berkedudukan sebagai penjaga dari proses konservasi-preservasi dengan tidak merusak proses tersebut. Selain itu dapat pula membantu menjaga sumber daya budaya yang mendukungnya.
·  Masyarakat sebagai konsumen konservasi dapat menikmati hasil konservasi baik dalam bidang wisata, ekonomi maupun ilmiah.
Pengembangan Berdasarkan Potensi Sumber Daya Keraton Surakarta
Pengembangan dilakukan untuk menunjang pelaksanaan proses konservasi dan preservasi. Potensi-potensi yang ada merupakan modal penting untuk mengembangkan rencana-rencana pengembangan (Relly dan Rahtz, 1992). Adapun potensi-potensi tersebut adalah:
Potensi Ekonomi
·  Pengembangan dari dalam tubuh Keraton Surakarta sendiri dapat dilakukan untuk menunjang pemasukan keraton yang menunjang proses konservasi dan preservasi. Dalam hal ini, dapat dilakukan pendirian percetakan dan penerbitan untuk karya sastra yang dimiliki Keraton Surakarta. Selain itu dapat pula mendirikan badan­badan yang menangani kursus-kursus ketrampilan bagi masyarakat dalam bidang budaya.
·  Pengembangan yang kedua adalah pengembangan kawasan dalam wilayah konservasi. Dalam hal ini wilayah III dalam pemintakatan cagar budaya dapat dikembangkan dengan pendirian stan kerajinan, museum, transportasi keliling kawasan maupun mini theatre. Ini semua adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan.
Potensi Budaya   .
·  Potensi budaya yang dapat dikembangkan adalah dengan melakukan pertunjukan rutin dan suguhan atraksi kebudayaan bagi wisatawan.
·  Selain itu, dapat pula diselenggarakan pameran rutin, festival dan workshop untuk potensi-potensi budaya yang dimiliki oleh Keraton Surakarta.
Potensi Keilmuan
·  Pendirian pusat studi merupakan usaha yang sangat perlu bagi pengembangan sumber daya Keraton Surakarta. Pusat studi ini tidak hanya mewadahi sumber daya budaya saja, namun juga bisa untuk studi konservasi itu sendiri. Pusat studi ini akan membantu melayani segala keperluan riset tentang Keraton Surakarta.
·  Pembenahan dan perluasan fungsi perpustakaan Keraton Surakarta. Mungkin paling tidak ada 2 perpustakaan yang perlu dikembangkan. Pertama adalah perpustakaan lama yang memuat segala hal potensi kepustakaan Keraton Surakarta (babad, serat, catetan) dan perpustakaan baru yang memuat kepustakaan tentang semua studi yang pernah dilakukan tentang Keraton Surakarta.

Simpulan
Demikianlah paparan mengenai potensi-potensi yang dikandung oleh sebuah situs yang merupakan sumber daya budaya. Pemerian terhadap kerusakan, kandungan nilai dan potensi merupakan modal utama dalam usaha perencanaan pengembangan suatu warisan sumber daya budaya. Berkaitan dengan euforia satu abad kebangkitan nasional, perlu kita renungkan sudahkan kita memperhatikan, yang diikuti dengan menyelamatkan dan diteruskan dengan melestarikan warisan-warisan budaya yang adiluhung. Nilai dan potensi yang terkandung di dalamnya merupakan warisan yang tak ternilai harganya bagi pengembangan budaya dan jatidiri bangsa.

Daftar Rujukan
Adrisijanti, I. 2001. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela
Cleere, H. 1984. Approaches to the Archaeological Heritage, (ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Cleere, H. 1989. Archaeological Heritage Management in the Modern World, (ed.). London: Unwin Hyman Ltd.
Dharmaputra, N.G. 2002. Resume Kuliah Manajemen Sumber Daya Budaya. Tidak Diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Feilden, B.M., dan Jokilehto, J. 1993. Management Guidelines for World Heritage Sites, (eds.). Roma: ICCROM
Reilly, P dan Rahtz, S. 1992. Archaeology and the Information Age: A global perspective, (eds.). London: Routledge.
Sedyawati, E. 2003. Warisan Budaya Intangible yang “Tersisa” dalam yang Tangible. Pidato Purnabakti. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Soeratman, D. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Disertasi. Yogya­karta: Yayasan Untuk Indonesia.