WARISAN
MAJAPAHIT:
MISTERI
CANDI SUKUH DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Deny
Yudo Wahyudi[1]
Tulisan ini
berawal dari permintaan dewan editor majalah komunikasi UM sebagai alternatif
wacana terhadap polemik karya pemikiran anak kami Rakai Hino, mahasiswa Jurusan
Sejarah angkatan 2008 yang menjawab ajakan kami untuk berkarya dalam penulisan
dan kajian ilmiah. Tema tulisannya adalah kebudayaan satanisme dalam karya Majapahit
dalam hal ini candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu. Saya sebetulnya berharap
justru polemik ini juga dijawab oleh mahasiswa sehingga mereka bisa saling
memberi argumen, bertanggung jawab terhadap gagasan dan ide yang disampaikan
dan yang terpenting menghargai paradigma berpikir sebagai salah satu kunci
dalam tahapan metode sejarah maupun arkeologi, yaitu proses berinterpretasi
(namun harus didukung data, fakta dan bukti temuan) yang pada akhirnya muncul
sebagai generalisasi atau bahkan kalau mungkin bangunan sebuah teori baru[2].
Masa Majapahit
dapat dianggap sebagai salah satu masa dalam periode Sejarah Indonesia Klasik
(masa Hindu-Buddha) yang memberikan data dan informasi sangat berharga,
terutama data penting itu berasal dari sumber data tekstual[3].
Sifat data dari sumber data tekstual bersifat informatif yang tingkatannya
lebih tinggi dari interpretasi dari temuan artefaktual. Sumber data tekstual
dari masa Majapahit memberikan informasi bukan hanya kejadian atau peristiwa
sejarah tertentu tapi juga gambaran kehidupan masyarakat dari berbagai sisi
kehidupan, salah satunya adalah kehidupan keagamaan. Informasi dari data
tekstual ini kemudian dikonfirmasi dengan data artefaktual sehingga
interpretasinya lebih valid dan dapat memberikan gambaran lebih lengkap karena
terkadang kebudayaan itu unik (uniqly
tidak selalu bersifat pola umum (pattern
of culture).
Gambaran
kehidupan masa majapahit dapat kita tangkap dari informasi sumber data tekstual
yang didukung temuan artefaktual. Kehidupan keagamaan masa Majapahit tergambar
bahwa paling tidak terdapat 4 agama resmi (dan diduga kuat Islam pun telah
berkembang meskipun belum menjadi agama resmi). Keempat agama tersebut rsi-saiwa-sogata-mahabrahmana, Saiwa adalah agama Hindu yang memuja
Siwa sebagai Kebenaran Tertingginya, aliran yang berkembang adalah
Saiwa-Siddhanta, Mahabrahmana adalah aliran
Hindu yang dikembangkan oleh para Brahmana, Sogata
adalah para penganut agama Buddha dan Rsi
adalah agama yang berkembang secara lebih besar khususnya pada masa Majapahit,
meskipun bentuk aliran ini sudah berkembang lama karena seiring dengan konsep
menjadi wanaprastha dan sanyasin
dalan pandangan Hindu. Rsi dalam
konsep agama Hindu mungkin dapat kita kenali dari dua sisi, yaitu para Rsi dalam mitos seperti Narada, Bhisma,
dll dan rsi yang telah mencapai hidup
wanaprastha dan sanyasin
Agama Rsi berkembang secara lebih luas pada
masa Majapahit akhir dan tersebar pada areal “pinggiran” karena dalam konsepnya Rsi berkembang jauh dari kehidupan ramai sehingga “menyingkir” ke
arah hutan, khususnya pegunungan, mereka lebih dikenal sebagai para rsi, para rakawi atau kawi[4].
Konsep cerita samudra mathana dimana
siwaloka di puncak gunung mahameru (yang digambarkan di pegunungan himalaya)
dipindahkan ke Jawadwipa memperkuat gambaran bahwa pada 7 gunung suci di Jawa
bagian timur[5]
terdapat tinggalan arkeologis berupa candi, punden berundak dan pertapaan para rsi.
Candi Sukuh
terletak di salah satu gunung yang dianggap suci itu, yaitu tepatnya di lereng
barat Gunung Lawu. Berdasarkan persebaran temuannya dugaan terkuat Candi Sukuh
adalah candi para rsi[6]
yang berfungsi dalam upacara matirtha
dengan memuja lingga (perwujudan Siwa
dalam bentuk phallus, simbol
laki-laki) dan Bhima, tokoh yang menjadi panutan para rsi karena Bhima dianggap sebagai mediator manusia dengan Siwa pada
masa Majapahit (akhir). Tugas Bhima tersebut tercermin dalam relief Bhimaswarga
pada dinding candi Sukuh. Dalam cerita tersebut digambarkan Bhima mencari air amrta sebagai penebus kesalahan
Pandu yang telah membunuh Brahmana. Konsep air suci ini universal dalam agama
Hindu (dan yang lain), air dipandang penting dan sangat vital untuk melebur
dosa, dan dianggap bahwa air amrta
ini merupakan air keabadian[7].
Penggambaran
candi Sukuh yang unik, eksotik dan tidak ada “duanya” dalam khazanah warisan
budaya nusantara ini perlu disikapi dengan bijak, hati-hati dan didukung oleh
data dan bukti temuan. Benarkah candi ini penggambaran dari aliran satanisme?
Boleh jadi betul namun apa ada dukungan data dan interpretasi yang telah
dibangun selama ini? Maka kita harus hati-hati. Justru Candi Sukuh dianggap
suci oleh para kaum rsi, kaum yang
telah mencapai hidup mengasingkan diri dari nafsu. Sekarang mengapa fenomena
temuan justru menunjukkan pornografi, vulgar?, kita harus menempatkan dalam
koridor ilmiah, apakah benar vulgar?.
Dalam konsep
kebudayaan Hindu ada aliran Tantrayana-Buddhisme yang menempatkan Siwa dan
Buddha dalam Kenyataan atau Kebenaran Tertingginya, jadi ada yang menyimpulkan
sebagai sinkritisme atau bahkan pararellisme. Seksualitas hanya salah satu cara
mencapai moksa, karena aliran ini
mempunyai pandangan bahwa yang tidak diperkenakankan adalah justru jalan
mencapai kesempurnaan, seringkali aliran ini disebut sebagai aliran “kiri”.
Namun apakah pendukung Candi Sukuh beragama Tantris? Kita belum dapat menduga
lebih jauh, namun banyaknya penggambaran lingga
atau phallus ini sejalan dengan
pemujaan lingga dalam aliran Saiwa
Sidhanta, sedangkan penggambaran Bhima dengan penonjolan bentuk lingga ini justru mendukung gambaran
Bhima sebagai mediator Siwa. Dan jangan lupa pemikiran air amrta dengan konsep air mani. Untuk itu benarkah para leluhur
kita mengembangkan budaya satanisme? Apa justru tidak betapa luhurnya dan arif
menyikapi kehidupan ini dengan makna-makna dan simbol-simbol religius, meskipun
dapat pula aliran atau konsep yang tidak sama dengan konsesus kita juga mereka
kembangkan. Selamat merenungkan, semoga menambah khasanah pwacana kita terhadap
warisan budaya.
[1] Penulis adalah staf
pengajar pada jurusan sejarah FIS-UM, mendalami arkeologi sejarah pada
Universitas Indonesia
[2] Ini seperti halnya teori
Thomas Kuhn tentang evolusi ilmu pengetahuan, yang pada intinya memberikan
pemikiran bahwa sebuah ilmu dalam perkembangan teorinya terjadi dinamika,
dimana teori lama akan digantikan teori baru yang dibangun atas temuan dan
interpretasi yang baru, hal ini terutama berlaku untuk ilmu-ilmu sosial yang
sifatnya dinamis dan kebenarannya bersifat relatif
[3] Sumber Data dalam
arkeologi dapat berbentuk artefaktual (candi, arca, benda, dsb), tekstual
(prasasti, naskah), dan etnografikal (perbandingan kehidupan masa lalu dengan
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kehidupan yang diduga sama dengan masa
yang dikaji)
[4] Para kawi ini digambarkan berbusana kulit
kayu sangat sederhana, tidak memakan daging, menjauhi perbuatan nista, hidup
sangat sederhana dan melakukan tapa atau puja
dalam (puja yang memusatkan pikiran tanpa memerlukan media). Coba
bandingkan dengan temuan arca di situs yang diduga peninggalan para rsi.
[5] Gunung-gunung tersebut
adalah Lawu, Wilis, Kampud (Kelud), Brahma, Kawi, Arjuna, Meru dan yang paling
utama adalah Pawitra (Penanggungan).
[6] Candi para rsi ini bisa jadi merupakan wanasrama yang terletak di hutan dan ini
di luar yang dikelola oleh para pejabat raja yang mengurusi karesyan yaitu para mantri her haji
[7] Dalam berbagai konsep
agama, air sangat penting dan utama membersihkan dosa, kotor dan biasanya
dipakai untuk mensucikan diri. Untuk konsep air
amrta sebagai air keabadian terdapat pemikiran bahwa air mani (sperma,
semen) dapat dipandang sebagai air kehidupan, air keabadian, karena dipandang
merupakan zat yang berguna dalam proses reproduksi, dan hasil reproduksi adalah
anak, berarti manusia ada penerusnya. Konsep air mani dan hal yang berhubungan
dengan seksualitas tercermin pada artefak di candi Sukuh, namun kita harus
menempatkan pada konteks pemahaman agama yang melatarinya.
pak deni,,,
BalasHapusberbicara mengenai artefaktual kerajaanmajapahit,,,sebenarnya tatakotanya sendiri itu memiliki konsep yang seperti apa?