SOSOK GAYATRI DALAM SEJARAH[1]
Oleh: Deny Yudo Wahyudi[2]
Sebagai pendahuluan
perlu saya sampaikan penghargaan tinggi kepada Prof. Drake atas kesediaan dan
minat beliau mempelajari sejarah serta kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak
banyak orang Indonesia sendiri yang peduli terhadap sejarah bangsanya, namun
perhatian lebih justru diperlihatkan oleh seorang Canada yang pernah bertugas
cukup lama di Indonesia. Semoga buku ini bermanfaat dalam menambah khasanah
berpikir kita terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Pergulatan menarik
ditunjukkan Prof. Drake ketika akan memilih tema tulisan sejarah sebagai
kebiasaan beliau ketika bertugas di luar negeri. Pilihan terhadap sosok Gayatri
sebagai bahan tulisan patut diacungi ibu jari karena beliau tidak tergoda untuk
mengangkat nama-nama besar dalam sejarah Majapahit, semisal Prabu Wijaya, Hayam
Wuruk, Patih Gajah Mada ataupun kalau tokoh wanita, Tribhuana dan Suhita lebih
banyak perannya dalam sejarah kerajaan. Selanjutnya saya akan sedikit
berdiskusi dengan tulisan Prof. Drake melalui tulisan sederhana, karena jika
melakuklan kontra tulisan memerlukan waktu panjang untuk mempersiapkan suatu
proses metode sejarah yang baik.
Gayatri
sebuah biografi yang samar
Alasan saya
mengangkat sub judul ini karena sosok tokoh Gayatri ini dikenal namun tidak
banyak sumber sejarah yang mencatat nama maupun aktifitasnya. Gayatri dikenal
sebagai salah satu putri Kertanegara raja Singhasari terakhir. Tidak banyak
sumber yang menceritakan tentang biografinya ketika menjadi putri Singhasari[3].
Silsilah raja Singhasari dan Majapahit yang ternaung dalam pohon dinasti
Girindra-rajasa wangsa dapat diperoleh penuturan Nagarakrtagama dan Prasasti
Mula-Malurung (1255 M). Penemuan prasasti Mula-Malurung semakin memperjelas
silsilah raja-raja Singhasari sebagai pendahulu raja-raja Majapahit. Sumber
lain selama ini hanya Pararaton dan Nagarakrtagama. Informasi yang diberikan
oleh Mula-Malurung banyak yang memperkuat atau bahkan memperjelas kisah dalam
Pararaton, karena tidak semua hal kisah dalam Pararton tergambarkan dengan
jelas dan justru beberapa menimbulkan pertanyaan.
Silsilah raja-raja
Singhasari menunjukkan bahwa semua cabang dalam keluarga ini pernah memerintah[4]
dalam tahta Singhasari. Hal yang menarik bahwa politik perkawinan selain sebagai upaya konsolidasi dan meredam
suksesi juga dapat berakibat berlawanan, yaitu penuntutan hak atas tahta.
Sebagai contoh adalah tokoh Jayakatwang raja bawahan di Kadiri, ia adalah
keturunan dari raja-raja Kadiri dari ayahnya yaitu Sastrajaya, dari pihak
ibunya dia adalah keturunan Singhasari, karena saudara perempuan Wisnuwardhana,
jadi masih sepupu dengan Kretanagara. Selain itu ia adalah ipar sekaligus besan
Kretanegara karena istrinya adalah saudara Kretanegara dan anaknya adalah
menantu Kretanegara.
Sekarang yang
menjadi pertanyaan siapakah calon yang dipersiapkan oleh Kretanegara sebagai
penggantinya. Baik Pararaton, Nagarakretagama maupun Prasasti Mula-malurung
tidak memperlihatkan hal tersebut. Jika Kretanegara tidak memiliki seorang
putra mahkota maka putri-putrinyalah yang mewarisi tahta. Mungkin saja Wijaya
yang keponakan Kretanegara dan mewarisi tahta dari jalur ayah dan kakeknya
dianggap pantas menerima hak waris tersebut. Jika benar R- Wijaya awalnya hanya
menikahi 2 putri Singhasari kemungkinan besar adalah si sulung Tribhuaneswari
(yang mungkin mewarisi tahta) dan Gayatri (yang mungkin sudah diperistri dahulu
jika mengingat ia yang diangkat sebagai Rajatpatni). Tetapi ini perlu
penelaahan lebih lanjut.
Gayatri
seorang Rajapatni
Gelar Rajapatni
disematkan kepada Gayatri sungguh sebuah tanda tanya besar, seberapa penting kedudukannya
dalam istana Majapahit. Rajatpani adalah gelar yang berarti istri utama raja,
sekarang apa bedanya dengan prameswari yang disandang oleh Tribhuaneswari.
Prameswari adalah kedudukan utama sebagai penghormatan istri utama yang tertua
(usia) sedangkan Rajapatni justru mungkin sebagai bupati estri[5]
yaitu pemimpin para wanita utama di istana Majapahit, dan mungkin juga adalah
istri kesayangan raja, jika mengingat kemungkinan ia adalah istri awal raja.
Tahta atas Majapahit
jatuh pada tangan Jayanegara putra Wijaya dengan Tribhuneswari (hal ini
diperkuat oleh prasasti Sukamerta dan Balawi), karena Jayanegara tidak
mempunyai anak maka tahta jatuh pada adik tirinya, yaitu Tribhuwanadewi putri
Gayatri. Ada pendapat yang menyatakan bahwa gayatri yang memperoleh hak atas
tahta karena ungkapan mangkamangalya
atau memerintah atas namanya ketika Tribhuwanadewi naik tahta. Pendapat
tersebut menerangkan bahwa Gayatri sebagai istri utama raja pendahulu berhak
atas tahta namun karena sudah menjadi bhiksuni Buddhis maka menyerahkan
tahtanya pada sang putri, sehingga ia memerintah atas nama ibunya. Setelah sang
ibu wafat maka Tribhuwana menyerahkan tahta pada anaknya sang Hayam Wuruk pada
tahun 1350. Boechari menentang pendapat tersebut karena tidak lazim tahta
diberikan pada istrinya, biasanya jika seorang raja mangkat tanpa pengganti
maka adiknyanyalah yang akan meneruskan tahtanya[6].
Gayatri
dan masa akhirnya
Kehidupan dan
peranan Gayatri dalam masa akhir hidupnya tidak banyak diberitakan baik oleh
prasasti maupun naskah. Mungkin saja peranan beliau sangat besar seperti yang
dicoba gambarkan Prof. Drake. Yang jelas ketika ia hidup, suaminya adalah raja
Majapahit dan ia adalah rajatni, istri utama. Dari rahimnya lahir dua putri,
Tribhuwanadewi yang menjadi raja dan adiknya Rajadewi Maharajasa menurunkan
raja-raja Majapahit dan mungkin orang-orang terkemuka nusantara hingga
sekarang. Tribhuwana dan adiknya serta cucu-cucunya, seperti Hayam Wuruk,
Rajaduhitecwari (adik Hayam Wuruk), Paduka Sori (istri Hayam Wuruk, putri
Rajadewi) serta adiknya Rajaduhintendudewi berada dalam asuhannya, mungkin juga
Gajahmada muda[7],
sebagaimana halnya yang coba direkonstruksi oleh Prof. Drake dalam buku
Gayatri.
Setelah meninggal
diberitakan bahwa Gayatri dibuatkan arca Prajnaparamita
di Prajnaparamitapuri dan didharmakan
di Bhayalangu. Apakah Prajnaparamitapuri sama dengan Bhayalangu perlu pemikiran
lebih lanjut[8],
karena kita perlu cermat membaca “mwan
taiki ri bhayalangӧ ngwanira san sri rajapatnin dinarma” Kata mwan taiki yang diartikan kemudian lagi
sekarang apakah tidak menunjukkan bahwa selain Prajnaparamitapuri ada juga
Bhayalangu sebagai tempat pendharmaan gayatri setelah beliau mangkat dan
dilakukan upacara sraddha sebagai
peringatan kematiannya. Mengenai arca Prajnaparamita, Munandar (2003)
mengasumsikan dengan bagus bahwa arca Prajnaparamita yang berasal dari kompleks
Candi Singosari justru pas jika diidentikkan dengan sosok Gayatri. Sedangkan
Sidomulyo meragukan dan hampir pasti menolak menyamakan sudharma haji Bhayalango dengan Candi Bhayalango di Tulungagung
karena berdasarkan letak kedudukan Bhayalango dalam rute perjalanan Hayam Wuruk
yang dikisahkan pada Nagarakretagama justru harus dicari di antara Bangil dan
Pasuruan.
Penulisan
Sejarah Majapahit
Sebagai penutup maka
mungkin buku ini pas jika diletakkan sebagai novel sejarah, karena untuk
menjadi rujukan ilmiah perlu kajian-kajian sumber sejarah yang lebih kuat dan
detail. Namun usaha Prof. Drake mengangkat biografi gayatri patut kita berikan apresiasi
sebagai usaha keras beliau mengenai sosok besar yang agak terlupakan namun
berjasa pada kebesaran Majapahit sebuah kerajaan besar[9].
Kedudukan utama
dalam penulisan sejarah (kuno utamanya) menempatkan informasi dari prasasti
sebagai sumber data primer, baru kemudian naskah dan sumber-sumber lain semacam
novel sejarah seperti buku ini. Sumber data tertulis mengenai Majapahit sangat
berlimpah baik prasasti, kronik atau berita asing, catatan perjalanan, naskah
baik sejaman maupun tidak serta sumber data folklore. Perlakuan terhadap
jenis-jenis sumber data ini sangat berbeda sesuai dengan tahapan verivikasi
dalam metode sejarah.
Mudah-mudahan
tulisan Prof. Drake ini mengisi beberapa kekosongan sumber sejarah mengenai
Majapahit, dan menginspirasi banyak orang khususnya Indonesia untuk peduli dan
menambah khasanah tersebut. Sukses untuk Prof. Drake.
[1] Judul
ini sebagai pembahasan terhadap buku Prof. Earl Drake, Gayatri Rajapatni:
Perempuan di balik kejayaan Majapahit dalam acara Diskusi publik yang
diselenggarakan oleh BEM FIS UM pada tanggal 2 April 2012. Drake, E. (2012) “Gayatri Rajapatni: Perempuan di balik
Kejayaan Majapahit”. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[2] Penyaji adalah staf pengajar
di Jurusan Sejarah FIS UM. Mendalami arkeologi sejarah di UI.
[3] Putri Kertanegara yang
dikenal menjadi istri dari penguasa pertama Majapahit ada 4 orang, yaitu Sri
Parameswari Tribuaneswari, Sri Mahadewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi
Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Gayatri. Ada perbedaan menarik mengenai
istri Wijaya. Pararaton dan Kidung mengisahkan hanya 2 putri saja yang menjadi
istrinya sedangkan Prasasti Sukamrta (1296 M), Prasasti Balawi (1305 M), dan
Nagarakretagama menyebutkan 4 istri Wijaya adalah putri Kertanegara Djafar, H. (2009)
“Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana
dan Masalahnya”. Jakarta: Komunitas Bambu., Soemadio, B. Ed. (1993) “Jaman Kuno (awal M-1500 M), Sejarah Nasional
Indonesia II”. Jakarta: balai Pustaka., dan Munoz, P.M. (2009) “Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan indonesia
dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman
Prasejarah-Abad XVI).” Yogyakarta: Mitra Abadi. Tentang istri Ardharaja
yang kemungkinan juga diperistri oleh Wijaya bisa saja terjadi mengingat
kebiasaan memboyong tawanan perang, dan mungkin ia adalah salah satu dari
keempat putri tersebut (Soemadio 2009).
[4] Ada 3 pohon yang pernah
memerintah, yaitu pohon Ken Dedes-Tunggul Ametung diwakili oleh Anusapati,
Wisnuwardhana, dan Kretanegara. Pohon Ken Dedes-Ken Angrok diwakili oleh Nararrya
Mahisa Wonga Teleng, Nararrya Ghuning Bhaya, dan Nararrya Waning-Hyun.
Sedangkan dari cabang silsilah Ken Angrok-Ken Umang naik tahtalah Nararrya
Tohjaya Sidomulyo, H. (2007) “Napak Tilas
Perjalanan Mpu Prapanca.” Jakarta: Penerbit WWS.
[5] Model bupati estri ini masih nampak pada keraton-keraton di Jawa hingga
sekarang, jabatan ini menempatkan yang bersangkutan semacam patih yang mengurus
semua urusan dalam istana. Kedudukannya sangat terhormat, kuat dan menentukan.
[6] Istilah mangkamangalya ini juga ditemukan dalam masa jabatan Kretanegara
maupun Hayam Wuruk sehingga Boechari berpendapat bahwa itu bukan tidak cocok
untuk menyatakan dia hanya menggantikan atas nama. Namun mengenai mengapa
Tribhuwana tidak meneruskan tahta setelah kematian ibunya Boecahari masih belum
menemukan jawaban yang tepat (Soemadio 1993).
[7] Baca tulisan Prof. Agus Aris
Munandar tentang Gajahmada yang mencoba merekonstruksi silsilahnya. Ia
berpendapat kedudukan Gajah Mada yang tinggi pasti didukung posisinya yang
mungkin juga keluarga Singhasari Munandar, A.A. (2011) “Gajahmada: Sebuah Biografi Politik”. Jakarta: Komunitas Bambu.
[8] Baca uraian Munandar, A.A.
(2003) “Aksamala: Untaian Persembahan
untuk Ibunda Prof. Dr. Edi Sedyawati.” Jakarta: Akademia, dan Rahardjo, S.
(2002) “Peradaban Jawa: Dinamika Pranata
Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno”. Jakarta: Komunitas Bambu, mengenai
hal tersebut.
[9] Kebesaran Majapahit
tergambarkan juga pada berita-berita di kerajaan lain baik Asia Tenggara maupun
Cina, India dan belahan lain sebagaimana halnya dikemukakan Coedes, G (2010).
“Asia Tenggara masa Hindu-Buddha.” Jakarta: KPG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar