PELESTARIAN WARISAN BUDAYA:
Studi Kasus pada Keraton Surakarta
Deny Yudo Wahyudi
Latar Belakang Pemikiran
Pertumbuhan dan
perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia
secara kronologis amatlah panjang dan bervariasi. Kronologis tersebut diawali
sejak jaman prasejarah hingga masa sekarang yang pembabakannya tetap berkaitan
antar periodenya. Sejarah kebudayaan Indonesia yang panjang ini tentunya
meninggalkan warisan budaya yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Jenis-jenis kebudayaan tersebut dapat dibedakan dalam bentuk yang tangible (bendawi) dan intangible (non bendawi) (Sedyawati,
2003), dimana warisan budaya yang tangible
dapat dibagi lagi ke dalam kategori benda bergerak (moving) dan tidak bergerak (monument).
Kondisi peninggalan-peninggalan budaya tersebut banyak yang berada dalam keadaan
rusak dan bahkan ada yang hanya tinggal puing-puingnya saja, namun ada juga
yang masih terawat hingga kini. Dari segi ketergunaannya, beberapa warisan
budaya tersebut terutama yang bentuk monumen masih berada dalam kondisi
terpakai (living monument) dan beberapa yang lain berstatus hanya
monumen belaka (death monument). Monumen-monumen ini beberapa di
antaranya dapat dikategorikan ke dalam warisan nasional. Bahkan, beberapa di
antaranya berstatus warisan dunia yang harus dilestarikan, seperti: Candi
Borobudur dan Candi Prambanan, selain itu beberapa lagi layak dijadikan warisan
dunia, seperti: Situs Sangiran di Jawa Tengah dan bentang alam Tanah Toraja di
Sulawesi Selatan. Sumber daya budaya yang dapat dijadikan warisan nasional ini
akan membawa implikasi positif pemeliharaan dan perlindungan di dalam pelestariaannya.
Salah satu
warisan sumber daya budaya dalam bentuk monument yang patut dijadikan warisan
nasional adalah Keraton Surakarta Hadiningrat, yang berada di kota
Surakarta
(Solo) Jawa Tengah. Keraton Surakarta dibagi ke dalam tiga bagian wilayah, wilayah-wilayah
ini masing-masing dipisahkan dengan dinding tebal yang melingkar dan dikenal
sebagai benteng. Wilayah I (inti)
adalah keraton itu sendiri, berada di bagian paling tengah (pusat). Daerah ini
adalah tempat tinggal raja, permaisuri, istri-istri selir dan putra-putrinya
yang belum dewasa. Wilayah II (baluwerti/jero benteng) adalah tempat
tinggal para bangsawan tinggi keluarga raja dan para pembantu (abdi dalem) raja. Wilayah III (luar)
adalah daerah alun-alun utara dan selatan yang terdapat beberapa bangunan
penunjang. Keseluruhan kompleks ini berdiri di atas tanah seluas kurang lebih
350.000 m2 (Soeratman, 2000).
Keraton
Surakarta berdiri 1746 pada masa pemerintahan Raja Paku Buwana II sebagai
penerus tahta Mataram dari dinasti Panembahan Senopati yang berkedudukan di
Kotagede. Keraton Surakarta adalah keraton yang ke lima dari wangsa Mataram Islam. Keempat keraton
sebelumnya, yaitu: Kotagede, Karta, Plered dan Kartasura, dimana keempatnya
kini tinggal puing-puing saja (Adrisijanti, 2001). Tahun 1755 ketika terjadi Perjanjian
Giyanti berimplikasi terhadap kemunculan Keraton Yogyakarta
sebagai pecahan Kerajaan Mataram. Selanjutnya, pada tahun 1757 Surakarta dibagi lagi
menjadi dua kerajaan dengan kemunculan sebuah Kadipaten yang berkedudukan
setengah kerajaan, yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Sedangkan pada tahun 1811,
daerah Yogyakarta juga dibagi menjadi dua
dengan kemunculan Kadipaten Pakualaman.
Keraton
Surakarta sebagai keraton tertua di antara empat keraton ini, memang layak untuk
dijadikan warisan nasional. Hal ini, karena salah satu kriteria pelestarian
warisan nasional adalah usianya yang tertua. Selain itu, sumber daya budaya
yang terkandung di dalam keraton baik tangible maupun intangible sangatlah
banyak dan berpotensi untuk dikembangkan.
Keletakannya
yang berada di jalur utama pariwisata Indonesia juga sangat mendukung.
Poros Yogyakarta-Bromo-Bali merupakan jalur utama pariwisata Indonesia, sehingga paket wisata
Yogya-Solo secara mikro saja tentu sudah menguntungkan. Balikan dari
pengembangan wisata budaya ini dapat menjadi dasar dalam manajemen sumber daya
budaya, karena secara profit maupun pengembalian biaya perawatan sudah dapat
terpenuhi.
Sumber daya ilmu
pengetahuan juga terdapat pada Keraton Surakarta. Kebudayaan yang tersimpan di
dalamnya dapat membantu kita, baik secara akademis maupun non akademis sebagai
upaya membangun kerangka pikir sumber Kebudayaan Nasional. Kajian-kajian
arkeologis, antropologis, sejarah, sosiologis, hukum, kesenian, arsitektur,
tehnik sipil, filsafat, psikologis, administrasi, susastra, linguistik,
perpustakaan, kriminologi, astronomi, kimiawi, biologi, fisika dan sebagainya
dapat digali dari sumber daya yang tersimpan di dalam Keraton Surakarta.
Ketertarikan
masyarakat baik dalam dan luar negeri juga merupakan modal bagi pelestarian
Keraton Surakarta. Masyarakat khususnya domestik, telah menjadikan Surakarta utamanya Keraton Surakarta sebagai kota dan tempat wisata
yang menarik untuk dikunjungi. Penetapan warisan nasional mungkin akan membawa
masyarakat menjadikannya sebagai tempat yang wajib dikunjungi, seperti halnya
Borobudur dan Bali. Masyarakat akademis baik
dalam maupun luar negeri banyak pula melakukan kajian-kajian tentang berbagai
hal mengenai Keraton Surakarta. Master dan Doktor telah banyak dihasilkan dari
kajian tentang Keraton Surakarta, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian
dari potensi yang ada.
Berdasarkan
pemikiran inilah maka amatlah layak apabila Keraton Surakarta dijadikan warisan
nasional. Bukan hanya bangunan dan benda fisiknya saja yang terpelihara namun
hal yang lebih penting adalah terselamatkannya hal-hal yang intangible seperti
kesenian dan ritual-ritual tradisi yang adiluhung.
Kriteria
Pengembangan sebagai Warisan Nasional
Kriteria
pengembangan sebagai warisan nasional dibuat berdasarkan atas panduan yang
dianut oleh UNESCO terhadap segala bentuk warisan dunia. Kriteria-kriteria ini
akan memandu bagian-bagian mana saja dari Keraton Surakarta yang mempunyai
variabel nilai sehingga akhimya dianggap layak untuk dijadikan warisan nasional.
Variabel nilai yang digunakan oleh UNESCO merupakan standar baku yang digunakan untuk menetapkan suatu
sumber daya budaya akan dijadikan sebagai warisan dunia. Namun, untuk
menentukan warisan nasional alangkah baiknya pula jika kita menggunakan standar
UNESCO, sehingga standar yang digunakan berkriteria internasional.
Sebelumnya perIu
dikemukakan terlebih dahulu definisi suatu sumber daya budaya, dimana menurut
UNESCO (Feilden dan Jokilehto, 1993) definisi tersebut berkaitan dengan dengan
3 bentuk sumber daya budaya, sebagaimana berikut: (1) monumen, yaitu semua
karya arsitektur, ukiran, lukisan, relief, inskripsi, hunian gua, hunian di
alam yang bernilai sejarah, seni dan ilmu; (2) kelompok bangunan baik terkait
maupun terpisah; dan (3) situs, yaitu hasil kegiatan manusia di alam yang
bernilai secara sejarah, etnologis, antropologis dan arkeologis. Berdasarkan
definisi tersebut, maka Keraton Surakarta
telah memenuhi 3 bentuk definisi UNESCO. Hal ini karena Keraton Surakarta telah
memenuhi definisi sebagai monumen baik secara arsitektural, dan di dalamnya
terdapat benda cagar budaya baik yang tangible maupun intangible sebagai kelompok bangunan. Selain
itu, juga memenuhi definisi sebagai situs yang bernilai sejarah,
etnologis, antropologis dan arkeologis.
Setelah
menentukan definisi tersebut, maka selanjutnya adalah menentukan kriteria-kriteria
baku sehingga
Keraton Surakarta layak dijadikan warisan nasional sumber daya budaya. Adapun
variabel nilai kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Kriteria Nilai
Kesejarahan
Dalam hal ini,
memenuhi kiteria utamanya yang menyangkut daya penciptaan, pembuatan dan
selanjutnya pemakaiannya. Keraton Surakarta telah dibuat di masa lalu (usianya
262 tahun), bangunan secara keseluruhan (baik bangunan awal maupun
penambahan-penambahan) tersebut masih terwariskan dan tetap digunakan atau dipelihara sejak
penciptaannnya hingga sekarang. Berdasarkan prinsip otentisitas maka keaslian
materi dan rancangannya telah sesuai dengan jiwa jamannya (zeigeist)
Kriteria Nilai
Identitas
Keraton
Surakarta merupakan keraton peninggalan perpecahan Mataram yang usianya paling
tua, tradisi dan keberlanjutannya dari keraton sebelumnya tetap terpelihara.
Hal ini terlihat dari pemilihan pihak Keraton Surakarta untuk tetap menjaga,
meneruskan dan mengembangkan tradisi Mataram, sedangkan pihak Keraton
Yogyakarta mengembangkan gayanya sendiri. Di samping itu, Keraton Surakarta juga
memuat berbagai nilai simbolik dan nilai spiritual dari keberadaan bangunan
maupun budaya yang dikembangkan. Hal ini sesuai dengan filosofi yang
dikembangkan sejak jaman Hindu-Buddha hingga filosofi yang telah dipengaruhi
Islam.
Kriteria Nilai
Teknis dan Seni
Berbagai kajian
tentang Keraton Surakarta menunjukan keunikan nilai teknis dan seni pada
bangunan, baik arsitektural, tehnis
pengerjaan maupun konsep fungsinya. Keraton Surakarta memuat pula kriteria
nilai teknis dan seni ini pada kebudayaan intangible yang ada di
dalamnya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada penciptaan seni tari, batik,
maupun keris. Kriteria
Nilai Kelangkaan
Keraton
Surakarta dari segi usia merupakan keraton tertua dari 4 keraton perpecahan
mataram. Bangunan cagar budaya tersisa yang berupa istana hanya sedikit di
Nusantara, lebih sedikit lagi di Jawa. Keraton Surakarta memuat keunikan
dibandingkan tiga keraton lain dari kelompok wangsa Mataram baik dalam segi
arsitektural, ornamentasi maupun filosofinya.
Kriteria Nilai
Ekonomis
Keraton
Surakarta memuat nilai ekonomis karena sebagai benda cagar budaya dia merupakan
aset budaya. Pelestariannya akan membawa dampak nilai ekonomis tedebih dari
sektor pariwisata. Keraton Surakarta memiliki nilai ekonomis lebih jika
dilakukan preservasi, baik kandungan nilai ekonomis ditinjau dari segi
kebudayaan (utamanya seni) maupun dari segi keilmuan (hak cipta dan data-data
ilmiah). Pengembangan dari preservasi ini akan membawa dampak ekonomis bagi
berbagai pihak, yaitu: pemerintah akan mendapat keuntungan dari segi
pengembangan pariwisata, pihak industri wisata, pihak masyarakat sekitar maupun
pihak keraton sendiri.
Kriteria Nilai
Fungsional
Keraton
Surakarta dilihat secara fungsional adalah situs berkelanjutan atau monumen
hidup (living monumen). Berdasarkan potensi pariwisata maka ada beberapa
bangunan yang diberikan nilai fungsional tambahan, hal ini seperti terjadi pada
gudang kereta sekarang yang bertambah nilai menjadi museum kereta kuda.
Kriteria Nilai
Pendidikan
Keraton
Surakarta memiliki aset nilai pendidikan yang termuat dalam bentuk kebudayaan
yang tangible maupun intangible. Hal ini diharapkan dapat memupuk kesadaran masyarakat mengenai
kesadaran sejarah dan budaya yang tekandung di dalamnya.
Kriteria Nilai
Sosial
Keraton Surakarta
memiliki berbagai tradisi sosial budaya yang masih berlanjut hingga sekarang
sehingga dapat memberikan nilai identitas
bagi masyarakat Indonesia
utamanya bagi orang Jawa. Kandungan budaya di dalamnya dapat dijadikan modal
pengembangan berbagai bentuk ritual yang berkembang di masyarakat.
Kriteria Nilai
Politik
Berdirinya
Keraton Surakarta merupakan rangkaian panjang peristiwa sejarah nasional maupun
lokal. Sejarah Keraton Surakarta sejak berdiri hingga sekarang akan menggugah
ingatan kita akan sejarah perpecahan Mataram, perkembangan seni tari, musik,
wayang, jaman barokisasi kesenian Jawa, perang Diponegoro dan lain-lain. Hal
ini akan memperlihatkan bahwa keberadaan cagar budaya ini memuat berbagai
kandungan nilai kesejarahan maupun perjalanan politis.
Demikianlah 9 kriteia yang akan semakin
memantapkan Keraton Surakarta layak dijadikan warisan nasional sumber daya
budaya.
Pembenahan Lingkungan Situs Keraton Surakarta
Pembenahan
merupakan tindakan yang akan dilakukan dalam poses konservasi dan preservasi
nantinya. Proses konservasi ini dapat berupa konservasi teknis maupun fungsi.
Jika mengacu pada pembenahan maka kita harus berpijak terlebih dahulu dari
kerusakan-kerusakan yang telah terjadi dan masih terus berlangsung hingga kini.
Kerusakan ini dapat dikategorikan ke dalam 3 aspek, yaitu kerusakan secara teknis,
kerusakan secara fungsional dan kerusakan karena faktor politis-ekonomis
(Cleere, 1989). Adapun rincian kerusakan-kerusakan tersebut adalah sebagai
berikut:
Kerusakan Teknis
a.
Kerusakan
teknis terjadi pada bahan yang telah tua usianya. Utamanya bahan yang mudah
lapuk atau rusak seperti, kayu, kain, logam, dan lain-lain.
b.
Kerusakan
teknis dapat pula terjadi karena kurangnya perawatan. Hal ini seperti terjadi
pada dinding-dinding keraton yang mulai ditumbuhi lumut, pengkaratan pada
benda-benda yang terbuat dari logam, rusaknya koleksi lukisan dan kain-kain
tradisional, maupun kerusakan pada koleksi kereta istana.
c.
Kerusakan
teknis juga terjadi pada benda susastra / naskah-naskah yang terdapat di
keraton. Hal ini karena usianya yang sudah tua, kekurangtahuan teknis perawatan
maupun minimnya dana perawatan.
d.
Kerusakan
teknis dapat pula terjadi pada benda intangible, misalnya tari-tarian bedaya
tidak dapat berkembang karena faktor teknik yang rumit dan pengembangannya
sulit karena terbatasi tata cara (pakem), faktor mitos dan terbatasnya sumber daya
manusia.
Kerusakan
Fungsional
a.
Kerusakan
fungsional terjadi dengan variasi non fungsional (tidak lagi berfungsi, berubah
fungsi dan pemberian makna baru atau penambahan fungsi.
b.
Dalam
lingkup lingkungan utama, beberapa bangunan telah kehilangan fungsinya dengan
faktor yang berbeda pula seperti:
· Sasana Handrawinya
(ruang makan) rusak akibat kebakaran, namun sekarang telah dibangun kembali.
· Keputren tidak
lagi banyak ditempati, karena para penghuninya telah mulai habis.
· Kori Magangan
karena rusak berat.
c.
Ada pula yang
berubah fungsi seperti:
· Kadipaten
(tempat tinggal putra mahkota) berubah fungsi menjadi museum.
· Bangsal Pacekotan
berubah menjadi kantor wisata keraton.
d.
Sedangkan
yang bertambah fungsi seperti gudang kereta menjadi museum kereta.
e.
Pada
beberapa bangunan pendukung telah terjadi pula penghilangan fungsi, seperti
alun-alun selatan dan sitihinggil selatan yang tidak lagi difungsikan.
f.
Adapula
yang berubah fungsi seperti rumah bangsawan (Dalem Sidusenan) menjadi kantor
sebuah badan dalam tubuh TNI.
g. Sedangkan
pemberian fungsi baru terjadi pada perkampungan di jero benteng yang seharusnya ditempai tanpa boleh memiliki (hak
guna pakai atau pinjam) bagi punggawa/karyawan istana telah berubah menjadi hak
guna milik dan menjadi pemukiman umum tanpa mengindahkan kaidah keseragaman dan
keaslian lingkungan.
Kerusakan
politis-ekonomis
a.
Kerusakan
ini terjadi karena faktor politis dan ekonomis. Perubahan yang terjadi maupun
pengembalian bentuk dan fungsi juga akan terbentur masalah politis dan
ekonomis.
b.
Contohnya
pada bangunan masjid agung yang telah menjadi milik publik (umat) maupun
perubahan yang terjadi pada kompleks
bangunan pendapa di alun-alun utara yang sekarang menjadi gedung modem sebuah
bank swasta nasional berlantai empat.
Demikianlah
kerusakan-kerusakan ini akan menjadi dasar untuk dilakukan pembenahan-pembenahan
selanjutnya sehingga lingkungan cagar budaya akan terlihat keaslian dan keotentikannya.
Pengembangan ini juga akan membantu di dalam melakukan pemintakatan dan
pembagian daerah-daerah yang akan dijadikan wilayah inti cagar budaya, wilayah
penunjang dan wilayah pengembangan.
Nilai-Nilai
Sumber Daya Budaya
Nilai-nilai sumber
daya budaya merupakan unsur-unsur intangible
yang terkandung di dalam benda tangible (Sedyawati,
2003). Adapun nilai-nilai tersebut adalah:
Nilai Estetika
Nilai estetika
merupakan salah satu nilai sumber daya budaya yang terkandung dalam lingkungan
Keraton Surakarta. Nilai ini memuat potensi "keindahan" baik dalam
bentuk abstrak maupun kongkrit. Penjabarannya terdapat dalam 3 aspek, yaitu gaya tradisional,
psikologi dan nilai seni.
Gaya Tradisonal
· Gaya tradisional
yang terdapat dalam budaya tangible (bendawi/tersentuh) dapat berupa:
a.
gaya tradisional
arsitektural rumah Jawa dengan semua variasinya, yaitu: pendhapa agung,
limasan dan kampung. Juga dalambentuk penempatan tiang-tiang penyangga,
seperti: semar tinandhu, klabang nyander, dan lain-lain.
b.
Gaya tradisional ornamentasi
yang terdapat pada ukiran kayu (tiang, daun jendela dan pintu maupun
benda-benda meubeler).
c.
Gaya tradisional
benda-benda lain, seperti: gamelan, kain batik, senjata, kereta, peralatan
rumah tangga, dan lain-lain.
d.
Gaya tradisional
yang terdapat dalam budaya intangible (tak benda/abstrak) dapat berupa: gaya tradisional pada tarian, seni musik, seni sastra yang
khas; gaya tradisional pada mitologi,
konsep-konsep, keyakinan dan adat istiadat atau norma-norma; maupun gaya tradisional pada
ritual-ritual yang terus berlangsung.
Psikologi
· Nilai psikologis
yang berkaitan dengan nilai estetis, salah satunya adalah konsep keindahan,
sehingga terwujud dalam arsitektur, ornamentasi, seni musik, tari, dan
lain-lain.
· Nilai psikologis
lain adalah dengan timbulnya rasa indah (secara psikologis) setelah menyaksikan
hasil budaya berupa Keraton Surakarta beserta isinya.
Nilai
Seni
· Nilai seni yang
terkandung dalam arsitektur dan omamentasi memancarkan nilai estetika yang
tinggi.
· Nilai seni juga
terkandung pada kesenian yang dikembangkan di lingkungan Keraton Surakarta,
seperti: tarian, musik, wayang, membatik, dan lain-lain. Hal ini lebih terkait
pada proses penerapannya.
Nilai Simbolik
Nilai simbolik
dapat terlihat pada unsur pemaknaan berbagai bentuk kebendaan maupun
konsep-konsep yang dikembangkan. Selain itu nilai sejarah yang mendukungnya
akan menambah nilai magis-simbolis bagi Keraton Surakarta. Adapun nilai
simbolik dapat ditemui dari berbagai aspek seperti berikut ini:
Pengetahuan Tradisional
· Pengetahuan
tradisional akan banyak sekali ditemukan di Keraton Surakarta. Salah satunya
adalah kemampuan mereka dalam membangun
kompleks keraton yang besar dan rumit. Dalam hal ini, berarti mereka paling
tidak telah menguasai ilmu bangunan, pertukangan dan ilmu tanah (menurut
legenda, tanahnya dahulu berupa rawa-rawa).
· Selain itu juga
ditemukan kemampuan tentang astronomi, pengobatan, pembuatan alat, pekerjaan
tangan.
· Pengetahuan
tentang kesenian (tari, musik, sastra).
Sejarah
· Dalam bidang
sejarah, mereka memiliki bahan-bahan pustaka yang dapat membantu kita menggali
sejarah masa lalu. Mereka menamakan kisah sejarahnya dalam buku yang disebut: babad,
serat dan catetan.
Tradisi Lisan
· Tradisi lisan
juga bisa ditemukan dengan banyak sekali diciptakannya kisah-kisah atau nasehat
dalam bentuk lagu (kidung, tembang, suluk),
· Selain itu
kisah-kisahnya tetap mereka jaga dengan gaya
cerita (dongeng)
Folklore
· Jenis folklore
juga banyak ditemukan di Keraton Surakarta,
seperti hal-hal yang sebenamya telah masuk di tradisi lisan, seperti: nyanyian,
cerita dan legenda.
· Selain itu
beberapa hal lain dari folklore yang dapat ditemukan, seperti: permainan
rakyat, tarian, seni sastra dan lain-lain.
Mitologi
· Banyak sekali
mitologi yang dapat ditemukan di Keraton Surakarta,
salah satunya adalah adalah mitos Ratu Pembayun dan Sunan Paku Buwono X.
· Paling terkenal
adalah mitos Ratu Selatan, Sunan Lawu, Bathari Durga dan Eyang Merapi yang
menjaga Keraton Surakarta dan wilayah kerajaan dari 4 penjuru mata angin
· Selain itu mitos-mitos
lain sering diciptakan untuk menjadi pendamping bendabenda yang disakralkan.
Landskap
· Kompleks
bangunan Keraton Surakarta sendiri secara arsitektural maupun layout dibungkus
dengan simbol-simbol yang amat kental.
Nilai Tradisional
Keraton Surakarta
secara informasional sangatlah berpotensi. Banyak informasi yang akan didapat
dan diteliti. Bidang kajian arkeologi, sejarah, antropologi, arsitektur,
folklore dan filologi dapat ditelusuri dan dikembangkan dari Keraton Surakarta.
Sejarahnya yang panjang dengan kehidupannya yang kompleks akan semakin
memperkaya hal tersebut. Arkeologi
· Dalam bidang
arkeologi akan ditemukan banyak sekali bahan-bahan artefaktual yang dapat
diteliti.
· Sosiofak dan
idiofak pun akan banyak sekali ditemukan di Keraton Surakarta.
Sejarah
· Informasi yang
didapat dari penulisan sejarah seperti: babad, serat dan catetan akan
membantu merekonstruksi sejarah masa lalu.
· Selain itu juga
dapat pula dibantu dari informasi tradisi lisan yang masih terpelihara.
Antropologi
· Banyak hal yang
didapat dari Keraton Surakarta mengenai bidang antropologi. Salah satunya
tentang sistem budaya dan sistem nilai yang terkandung di dalamnya.
· Selain itu dari
bidang kesenian yang amat kaya akan berlimpah-limpah didapatkan informasi
berharga.
Arsitektur
· Arsitektural
yang khas dari Keraton Surakarta merupakan studi unik tersendiri.
· Gabungan gaya arsitektural
tradisional (Jawa) dan modem (kolonial) dibungkus dalam nafas konsep
tradisional Jawa dan religius (Hindu, Buddha dan Islam).
· Teknik-teknik
arsitektural tradisional dan modem pada masanya juga merupakan informasi
penting yang kita bisa gali dari Keraton Surakarta.
Folklore
· Berbagai jenis
folklore seperti nyanyian, puisi, permainan rakyat, tarian, dan lain-lain juga
bisa kita dapatkan.
· Pertukaran
berbagai folklore dari luar ke dalam lingkup keraton maupun sebaliknya
merupakan informasi penting untuk studi ini.
Filologi
· Kekayaan dunia
sastra di Keraton Surakarta
merupakan surga bagi studi perkembangan filologi, tidak hanya Jawa namun juga yang
lain.
Nilai Ekonomis
Nilai ekonomis
lebih dekat dengan faktor pelaksanaan konservasi dan preservasi maupun
pengembangannya nanti. Nilai ekonomis tidak hanya berguna untuk pihak benda cagar
budaya saja namun juga berguna bagi pemerintah maupun masyarakat utamanya
masyarakat sekitar. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:
Faktor Pasar
· Keberadaan
Keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya yang hendak dikonservasi tentunya
secara ekonomis harus terdukung sehingga pelaksanaan konservasi bisa terus
berjalan dan tidak membebani anggaran yang lain.
· Pengembangan
sektor ekonomi dari informasional juga sangat mendukung, seperti: penjualan data-data
informasi dalam bentuk penerbitan seri sastra keraton, peng-CD-an tarian dan
ritual yang masih berkembang maupun kompleks keraton itu sendiri.
· Selain itu
sektor pariwisata juga potensial untuk dikembangkan. Namun jangan sampai
merusak keontetikan informasi dan sumber daya Keraton Surakarta.
Potensi Ekonomi
· Sejalan dengan
faktor pasar, maka pengembangan Keraton'
Surakarta
sebagai daerah cagar budaya akan memberikan pemasukan langsung maupun tidak
langsung bagi pemerintah. Pemasukan langsung bisa didapat dari devisa
pariwisata. Sedangkan pemasukan tidak langsung dapat diperoleh dari peningkatan
perkembangan perekonomian daerah dan nilai kekayaan intelektualnya.
Biaya pengembangan
· Timbal balik
seperti yang diungkapkan sebelumnya jelas sekali dapat membantu biaya
konservasi dan preservasi.
· Potensi ekonomis
akan membantu biaya-biaya konservasi dan operasionalnya yang tinggi sehingga
beban anggaran tidak terjadi.
Keuntungan Pemberdayaan Masyarakat
· Pengembangan
lingkungan Keraton Surakarta sebagai daerah cagar budaya akan membantu seeara
langsung masyarakat sekitar. Pembukaan stan rakyat dan pelibatan mereka dalam
konservasi dan preservasi merupakan nilai ekonomis yang nyata.
· Perkembangan
pariwisata akan membantu anggaran daerah sehingga alokasinya untuk meningkatkan
pemberdayaan masyarakat juga akan semakin besar.
Pengembangan Lingkungan Situs Keraton Surakarta
Pengembangan
situs Keraton Surakarta perlu pula melihat potensi-potensi yang dimiliki dan
keterkaitan dengan pihak lain. Berdasarkan potensi inilah selanjutnya dibuat
program perencanaan pengembangannya.
Potensi-Potensi Keraton Surakarta
Potensi-potensi
yang dimiliki Keraton Surakarta sangatlah banyak seperti halnya yang telah
dikemukakan di atas. Potensi-potensi ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu
dari dalam (intrinsik), di sini menyangkut sumber daya budaya yang dimiliki
oleh Keraton Surakarta. Kedua adalah aspek dari luar (ekstrinsik), membicarakan
potensi lingkungan yang mendukung Keraton Surakarta sebagai sumber daya budaya
yang patut dilestarikan dan dilindungi. Potensi-potensi ini sangat berguna
untuk pengembangan selanjutnya (Cleere, 1984). Adapun potensi-potensi tersebut
adalah sebagai berikut:
Potensi Intrinsik
Potensi Budaya
· Potensi budaya
jika mengacu pada 3 wujud kebudayaan maka dari wujud yang pertama adalah
potensi ideologis. Di sini berarti hal-hal seperti konsep~konsep, keyakinan,
adat-istiadat, mitologi, maupun norma merupakan potensi yang dimiliki dan dapat
dikembangkan.
· Potensi budaya
yang kedua adalah potensi sistem sosial yang mengacu pada sistem perilaku
berpola. Di sini berarti hal-hal seperti proses ritual dari berbagai aspek,
pola interaksi antar penghuni keraton, dan lain-lain juga dapat dikembangkan.
· Potensi budaya
yang terakhir adalah segala hasil kebudayaan materi, seperti: tarian,
arsitektur, musik, wayang, senjata tradisional, kain, omamentasi, dan lain-lain.
Potensi Ekonomis
· Potensi ekonomi
yang pertama adalah komersialisasi hak cipta intelektual yang dimiliki Keraton
Surakarta.
· Potensi ekonomis
yang kedua adalah pemasukan dari penyelenggaraan kursus-kursus mengenai sumber
daya budaya, seperti: kursus tari, musik, batik, dan lain-lain.
Potensi Ekstrinsik
Potensi Sosial
· Masyarakat
sekitar yang sebagian besar masih memegang teguh adat istiadat keraton
merupakan potensi dilakukannya konservasi maupun studi sosiologis.
· Selain itu
kegiatan perekonomian tradisional di sekitar keraton yang masih menampakan ciri
khas struktur perkotaan lama Surakarta
merupakan potensi pengembangan wisata.
Potensi Pariwisata
· Keraton Surakarta
sangat berpotensi menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan.
· Keaneka-ragaman
sumber daya budaya merupakan potensi bagi pengembangan wisata.
· Keraton
Surakarta dan lingkungan sekitamya dapat membantu pengembangan kota
Surakarta sebagai kota wisata dengan multi potensi wisata.
Potensi Geografis dan Prasarana
· Kota Solo terletak
dalam poros wisata Yogya-Bromo-Bali, sehingga potensial sebagai kota kunjungan wisata.
· Persebaran
budaya dan bangunan-bangunan bersejarah di sekitar Solo-YogyaSemarang
berpotensi untuk dijadikan daerah-daerah konservasi.
· Solo yang
merupakan kota transit dengan prasarana
perhubungan (terminal, setasiun, bandara) yang lengkap dan ramai serta
penginapan yang memadai menunjang sebagai kota
tujuan wisata yang potensial.
Keterlibatan
Pihak-Pihak Terkait
Keterlibatan
pihak lain sangat menunjang proses konservasi dan preservasi, karena benda
cagar budaya terkait dengan berbagai sistem yang berkembang maupun pihak-pihak
lain yang berkompeten dan berkepentingan. Proses interaksi timbal-balik sangat
membantu untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan yang berguna untuk pengembangan
lebih lanjut (Darmaputra, 2002)
Pemerintah Pusat
· Pemerintah pusat
berwenang untuk menentukan kebijakan konservasi yang baku dan standar bagi Keraton Surakarta.
Kebijakan konservasi ini disertai pula dengan penjabarannya dalam bentuk
program dan proyek. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam pelaksanaannya.
· Selain itu,
konservasi dan preservasi perlu dilandasi ketentuan legal-formal dalam bentuk
Undang-Undang dan peraturan pemerintah, sehingga arah dan pelaksanaan
konservasi-preservasi tidak melenceng.
Pemerintah Daerah
· Pemerintah
daerah merupakan pelaksanan kebijakan konservasi dan preservasi dengan
menyediakan anggaran, tenaga, sarana dan prasarana yang mendukung
· Anggaran ini
disesuaikan dengan kemampuan daerah dengan memperhatikan pemasukan langsung
maupun tidak langsung.
Pihak Institusi Pendidikan (Universitas)
· Institusi
pendidikan baik di Solo maupun kota-kota lain yang menaruh perhatian perlu
membantu dengan memberi masukan pemikiran untuk konservasi-preservasi dan
pengembangan Keraton Surakarta.
· Hasil-hasil
riset perlu disebarluaskan sehingga menjadi promosi dan kekayaan intelektual
bagi dunia ilmu pengetahuan.
· Pihak institusi
pendidikan ini perlu juga mendirikan pusat studi Keraton Solo. Hal ini utamanya
untuk universitas yang sangat menaruh perhatian, seperti: UI, IKJ, UGM, UNS, STST Solo, ISI Yogya,
Univ. Leiden, Univ. Amsterdam, Univ. London, Univ. Cambridge, Univ. Oxford, Univ. Sourbone,
Univ. Paris, Univ Monash, ANU, Univ. Hawaii at Manoa, Univ. California at Berkeley, UCLA, Univ. Harvard,
Univ. Cornell, dan lain-lain.
Masyarakat
· Masyarakat
berkedudukan sebagai penjaga dari proses konservasi-preservasi dengan tidak
merusak proses tersebut. Selain itu dapat pula membantu menjaga sumber daya
budaya yang mendukungnya.
· Masyarakat
sebagai konsumen konservasi dapat menikmati hasil konservasi baik dalam bidang
wisata, ekonomi maupun ilmiah.
Pengembangan Berdasarkan Potensi Sumber Daya Keraton
Surakarta
Pengembangan dilakukan untuk menunjang pelaksanaan
proses konservasi dan preservasi. Potensi-potensi yang ada merupakan modal
penting untuk mengembangkan rencana-rencana pengembangan (Relly dan Rahtz,
1992). Adapun potensi-potensi tersebut adalah:
Potensi Ekonomi
· Pengembangan
dari dalam tubuh Keraton Surakarta sendiri dapat dilakukan untuk menunjang
pemasukan keraton yang menunjang proses konservasi dan preservasi. Dalam hal
ini, dapat dilakukan pendirian percetakan dan penerbitan untuk karya sastra
yang dimiliki Keraton Surakarta. Selain itu dapat pula mendirikan badanbadan
yang menangani kursus-kursus ketrampilan bagi masyarakat dalam bidang budaya.
· Pengembangan
yang kedua adalah pengembangan kawasan dalam wilayah konservasi. Dalam hal ini
wilayah III dalam pemintakatan cagar budaya dapat dikembangkan dengan pendirian
stan kerajinan, museum, transportasi keliling kawasan maupun mini theatre. Ini semua adalah usaha-usaha
yang dapat dilakukan.
Potensi Budaya .
· Potensi budaya
yang dapat dikembangkan adalah dengan melakukan pertunjukan rutin dan suguhan
atraksi kebudayaan bagi wisatawan.
· Selain itu,
dapat pula diselenggarakan pameran rutin, festival dan workshop untuk potensi-potensi budaya yang dimiliki oleh Keraton
Surakarta.
Potensi Keilmuan
· Pendirian pusat
studi merupakan usaha yang sangat perlu bagi pengembangan sumber daya Keraton
Surakarta. Pusat studi ini tidak hanya mewadahi sumber daya budaya saja, namun
juga bisa untuk studi konservasi itu sendiri. Pusat studi ini akan membantu
melayani segala keperluan riset tentang Keraton Surakarta.
· Pembenahan dan
perluasan fungsi perpustakaan Keraton Surakarta. Mungkin paling tidak ada 2
perpustakaan yang perlu dikembangkan. Pertama adalah perpustakaan lama yang
memuat segala hal potensi kepustakaan Keraton Surakarta (babad, serat, catetan) dan
perpustakaan baru yang memuat kepustakaan tentang semua studi yang pernah
dilakukan tentang Keraton Surakarta.
Simpulan
Demikianlah
paparan mengenai potensi-potensi yang dikandung oleh sebuah situs yang
merupakan sumber daya budaya. Pemerian terhadap kerusakan, kandungan nilai dan
potensi merupakan modal utama dalam usaha perencanaan pengembangan suatu
warisan sumber daya budaya. Berkaitan dengan euforia satu abad kebangkitan
nasional, perlu kita renungkan sudahkan kita memperhatikan, yang diikuti dengan
menyelamatkan dan diteruskan dengan melestarikan warisan-warisan budaya yang
adiluhung. Nilai dan potensi yang terkandung di dalamnya merupakan warisan yang
tak ternilai harganya bagi pengembangan budaya dan jatidiri bangsa.
Daftar Rujukan
Adrisijanti, I. 2001. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela
Cleere, H. 1984.
Approaches to the Archaeological Heritage, (ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Cleere, H. 1989.
Archaeological Heritage Management in the Modern World, (ed.). London: Unwin Hyman Ltd.
Dharmaputra,
N.G. 2002. Resume Kuliah Manajemen Sumber Daya Budaya. Tidak
Diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Feilden, B.M.,
dan Jokilehto, J. 1993.
Management Guidelines for World Heritage Sites, (eds.). Roma: ICCROM
Reilly, P dan
Rahtz, S. 1992. Archaeology and the Information Age: A global perspective, (eds.). London: Routledge.
Sedyawati, E.
2003. Warisan Budaya Intangible yang
“Tersisa” dalam yang Tangible. Pidato Purnabakti. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Soeratman, D.
2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta
1830-1939. Disertasi. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.